69

25.1K 3.2K 460
                                    

"Bagaimana terapinya? Lancar?"

Fikri mengarahkan tatapannya ke arah Zidane yang terlihat fokus dengan buku di tangannya, dia terkekeh ringan saat pemuda itu sama sekali tidak terusik dengan ucapannya. Dia jadi teringat, jika dulu Zidane juga sangat menyukai buku, bahkan dia merasa aneh anak sekecil itu malah menyukai buku.

"Gimana bukunya? Bagus?"

Mendengar hal itu, akhirnya Zidane mengalihkan pandangannya dari buku. Dia mengangguk semangat, dia sangat menyukai buku yang ada di tangannya, meskipun dia merasa familiar saat membacanya. "Ini buku Bang Fikri?"

"Bukan, saya pinjem bukunya dari temen. "

Buku tersebut memang bukanlah miliknya, kemarin sore saat dia ingin pulang ke rumahnya, dia bertemu dengan Lian di parkiran Rumah Sakit. Pemuda itu memberikan beberapa buku yang dimiliki Zidane padanya untuk diberikan pada Zidane, karena siapa tau Adiknya membutuhkan untuk menghilangkan rasa bosannya. Lian juga sempat bilang jika dia yang membelikan buku-buku itu sebelumnya.

"Seru, alurnya bagus. "

"Ini, ini. Alurnya nggak ketebak. "

Fikri memandang Zidane cukup lama, hanya mendengarkan laki-laki itu untuk berbicara tentang buku-buku di depannya. Sejauh ini, dia rasa kondisi Zidane mengalami peningkatan kembali setelah sempat menurun waktu itu, dan Dokter Matt juga mengatakan hal yang sama. Dia sama sekali tidak menyangka jika Zidane mengalami gangguan mental, salah satunya skizofrenia.

Dia tidak pernah melihat tingkah aneh Zidane selama seminggu ini, dia melihat anak itu adalah anak yang ceria, seakan mengembalikannya di masa dimana Zidane masih belajar dengannya. Mungkin, hanya saja kesedihan pemuda itu yang begitu kentara saat mereka pertama kali bertemu seminggu lalu.

"Saya berharap di masa depan kamu bisa terbebas dari semua itu, " batinnya. Dia sempat berbincang dengan Dokter Matt, dan laki-laki itu mengatakan jika Zidane bisa hidup dengan normal tanpa gangguan, meskipun membutuhkan waktu yang lama untuk penyembuhan. Setidaknya, ada harapan bukan?

"Ini, A—bang yang bawa?"

Fikri menatap ke arah kotak makanan yang ditunjuk oleh Zidane, dia kemudian mengangguk. "Iya, kamu mau? Saya sudah tanya sama Dokter, katanya kamu bisa kok makan yang begini, mau coba?"

"Boleh?"

"Tentu boleh, saya sengaja membawanya, ini istri saya yang masak, " sahutnya dengan kekehan kecil, dia kemudian membuka kotak makan tersebut, hal itu membuat Zidane terdiam sesaat, saat dia merasa familiar dengan momen ini. "Semoga kamu suka ya. "

Baru saja Fikri menyodorkan nasi goreng yang dibawanya, aktivitas Fikri terhenti saat mendengar suara ketukan pintu. "Zidane, sebentar saya keluar. " Pemuda itu terlihat mengangguk, Fikri pun bangkit dan melangkahkan kakinya menjauh dari tempat asalnya.

"Abi. "

Mata Fikri kini membulat, dia kini berjongkok di hadapan Nabil dan memutar tubuh itu untuk memastikannya. "Nabil, kenapa kamu bisa disini? Bukannya kamu masih sekolah jam segini? Kenapa nggak minta jemput sama Abi?"

Nabil tersenyum lebar. "Gurunya rapat Bi jadi pulangnya cepet, Nabil dianterin sama kakak temen, karena Nabil tau Abi sama Umi nggak ada di rumah, jadi Nabil minta anterin kesini, soalnya Nabil tau kalo Abi akhir-akhir kesini, jadi kesini deh. "

"Gimana kamu bisa nemuin ruangannya?" Dia rasa, dia hanya mengajak putranya sekali, itupun karena tidak ada yang menemaninya di rumah, jadi mau tak mau malam itu dia membawa Nabil bersamanya.

"Tadi minta tolong sama kakaknya temen Nabil buat hubungin Abi, tapi nggak sengaja ketemu Dokter ini. " Anak laki-laki itu nampak menunjuk ke arah Dokter Matt yang sibuk berbincang-bincang dengan salah seorang suster tak jauh dari mereka berdiri. "Katanya tau Abi dimana, jadi Nabil bisa kesini sama Om itu. "

Transmigrasi Mantan Santri? [Otw terbit✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang