💞
"Mbak Zena," ketukan di pintu paviliun membuat Zena terbangun dari tidurnya.
"Ya, Bi ...," sahut Zena kemudian memutar kunci. "Ya, ada apa?" Zena bersandar dengan mata mengantuk. Masih pagi sekali dan hari minggu. Kenapa juga bibi bangunin ia sepagi ini.
"Pak Dipa minta Mbak Zena ke pasar bersih. Beliin ini semua," kata bibi menyerahkan catatan belanja.
"Papa ke mana emangnya?"
"Ke pasar ikan sama Ibu. Pak Dipa mau beli ikan langsung dari sana. Nanti malam Bapak undang anak-anak kos makan malam di rumah. Ini ya, Mbak, terus uangnya di amplop ini. Mbak Zena diminta naik ojek atau angkot aja."
Oke, paham. Zena tau ia harus dijajah papanya. Zena membuka lebar pintu supaya udara masuk sementara ia cuci muka, sikat gigi, kumur-kumur dengan obat kumur rasa jeruk terakhir memakai celana panjang training warna hitam.
"Laper," gumam Zena seraya berjalan kaki menuju ke jalan utama tempat mangkal tukang ojek. Ia mengusap perutnya. Jam masih diangka enam, ia juga masih mengantuk sebenarnya.
"Bang, ke pasar bersih, berapa?"
"Lho, Mbak Zena, nggak pake mobil?"
"Nggak. Anterin cepetan!" gerutu Zena.
"Ayok! Bolak balik lima puluh, ya."
"Iya, gampang. Ayo!" tepuk Zena ke bahu tukang ojek yang tau siapa keluarga Dipa.
Jalanan sepi, bahkan saat di pasar bersih yang memang bersih karena lantai keramik dan tak bau seperti pasar lainnya, Zena mendadak semangat belanja.
Tas belanja besar ia slampirkan ke bahu kiri sementara tangan kanannya memegang dompet dan ponsel.
"Bang, timun satu kilo, terong ijo bulet setengah kilo, tomat merah setengah kilo, daun pohpohan dua iket, daun kemangi tiga ikat, jeruk limau lima ribu, cabe merah keriting campur rawit merah dua puluh ribu, bamer baput sepuluh ribu." Zena fokus menatap penjual yang mengangguk. Ia tunggu pesanannya selesai dibungkus, setelah menyerahkan uang lalu beralih ke kios lain.
"Hai, Bu, apa kabar," sapa Zena. Ia memilih daging sapi di hadapannya.
"Baik, neng cantik, mau berapa kilo?"
"Dua. Sengkel satu kilo, daging mulus satu kilo."
"Siap!" Ibu penjual daging segera menimbang daging yang dibeli Zena.
"Iga juga deh, Bu, dua kilo. Iga mulus, ya, nggak mau ada lemak," tambah Zena.
"Ok!" sahut si ibu. Pesanan selesai, Zena beralih lagi ke tempat lain. Ia kali ini mau membeli pertepungan sesuai catatan Dipa. Alhasil ia keberatan membawa semua belanjaan karena ternyata banyak.
Ojek tadi mendekat, membantu Zena yang ngosngosan. Rasa lapar datang lagi, ia memilih membeli aneka kue basah untuk ganjal perut.
"Bu, pastelnya tiga, arem-arem dua." Zena membayar, tapi ia sudah mengunyah satu pastel saking lapernya.
Dengan berjalan santai seraya menenteng kantong kresek, Zena berdecak sebal saat melihat Mandala lagi. Pria itu berjalan santai dengan sandal jepit, celana pendek kargo warna hitam dan kaos belel warna marun.
Mandala cuek saja saat berjalan melewati Zena menuju bagian dalam pasar.
"Belagu!" celetuk Zena, ia lantas naik ke atas sepeda motor. Tak lupa mampir membeli es teh di depan mini market dengan banyak es batu. Tukang ojek juga ia belikan.
"Mbak Zena, kenapa nggak naik mobil lagi? Kok saya lihat sering naik ojol?"
"Biasa, lah ... penjajahan kembali merajalela di rumah. Udah! Jangan tanya-tanya! Buruan anterin, gerah banget!" omel Zena.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjebak Mantan Belagu! ✔ (TAMAT)
Romantik☆Lanjutan Single Father & Love, Zano☆ _________ Meneruskan bekerja di perusahaan papanya, Zena seperti terjebak dalam cangkang. Akan tetapi ia tak mau membuat papanya kecewa karena perusahaan turun temurun. Tetapi apes menimpanya saat laporan keuan...