Pengenalan 1

1K 129 2
                                    

💞

Hai, kisah ini aku buat mengalir apa adanya tanpa ada outline dan terlalu serius. Beberapa hal di bab-bab selanjutnya mungkin dirasa flat atau bisa aja justru bikin kaget. Ada satu issue public yang mau aku jadikan alur.
Yang masih betah, monggo men-stay kan diri di sini. Yang mulai bosen, nggak apa-apa beranjak. No presure 😊

______

"Yakin?" Nada bicara Dipa begitu mewakili pendapatnya. Kembalinya Zena dan Mandala bersama, terasa singkat jika keduanya ingin menikah. Padahal, Dipa maunya Zena sat set naik pelaminan jika sudah bertemu yang bisa saling menerima sifat, watak, sikap buruk.

"Yakin, Pa," jawab Zena sambil memeluk Dipa dari samping saat keduanya tengah berbincang di ruang tengah. Letta yang berada di kamar, sudah lebih dulu dicurhati Zena dan meminta putrinya bicara dari hati ke hati dengan papanya.

"Apa yang bikin kamu yakin?"

"Mandala mirip Papa. Dari dulu Zena mau punya suami yang mirip Papa, dari sifat apalagi. Kalau muka ya jelas Papa satu-satunya yang ganteng plus tengil. Ibu kesirep apa, sih, Pa? Bucin banget sama Papa," canda Zena.

"Kamu nggak boleh tau, lah ... enak aja mau minta resep cinta dari Papa." Dipa memeluk gemas putrinya. Ingatannya kembali ke masa Zena bayi, kanak-kanak, sebelum ia bertemu Letta. Semua hal ia curahkan ke Zena. Namun kini putri cantiknya sudah ada yang mau melamar. Rasanya ketar ketir di dalam hati. Ikhlas tidak ikhlas ternyata melepaskan seorang anak perempuan untuk berumah tangga.

"Keluarga Mandala udah setuju semua?"

"Ya nggak semua. Belum dikenalin juga. Baru ke Mama Papanya dan beberapa sepupu yang kerja di tempat usaha mereka." Zena duduk tegap mendadak. "Papa mau bikin pesta megah buat Zena, ya? Hayo ngaku? Nggak usah, deh, Pa ...."

Dipa melirik sinis. "Pesta besar, mewah, megah. Kamu anak cewek Papa the one and only. Masa Papa lepas kamu berumah tangga nggak pake celebrasi. Itung-itung beban dipundak Papa punya anak cewek tunggal tapi kayak punya anak cewek sepuluh yang berulah melulu, bisa bebas lepassss!" teriak Dipa seraya merentangkan tangan ke udara.

Padahal, tidak di dalam hatinya. Apalagi Zena juga sudah cerita jika ia dan Mandala akan tinggal di rumah lain. Cukup jauh dari Dipa. Makin berat ikhlas, tapi harus!

"Ck! Tujuannya apa, sih, Pa ... dananya sayang, nggak usah, deh ... Zena tolak dengan tegas," ujarnya dengan kedua tangan menyilang di depan dada.

Bel berbunyi, Zena melompat cepat dari sofa hingga lututnya terantuk meja, membuatnya meringis menahan sakit.

Mandala berdiri di depan teras. Ia menyapa dengan senyuman tampannya. Rambutnya baru dirapikan lagi atas paksaan Zena.

"Papa udah nungguin di dalem. Ibu nanti aku panggil. Mas Zano aku telpon dulu. Ayo masuk," ajak Zena. Mandala menahan langkah Zena masuk dengan meraih jemari tangannya.

"Buat kamu," tukas Mandala seraya menyerahkan coklat merek gunung salju dua buah. Zena sumringah.

"Ada lagi, nggak?" Tangan Zena memeriksa saku celana panjang yang dikenakan kekasihnya itu.

"Mau apa emangnya?" Kedua tangan Zena dipegang Mandala dengan satu tangannya.

"Nggak ada siomay, batagor, apa gitu. Papa mogok masak hari ini gara-gara aku bilang kamu mau ketemu dan minta izin lamar aku. Kayak orang puyeng, bengonggg, aja si Papa."

Terjebak Mantan Belagu! ✔ (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang