Lamaran

1.1K 136 7
                                    

💞

"Dua tahun yang nggak gimana-gimana, Zena," jawab Mandala ketika mereka pulang dari rumah yang akan menjadi hunian keduanya.

"Nggak percaya. Kok nggak cerita ke aku?" Zena semakin mengintrogasi. Tak yakin jika dua tahun pacaran dengan Hanum, Mandala menganggap biasa saja.

"Kamu mau denger jawaban kayak gimana emangnya, hum? Aku pacaran sama dia ngapain aja, kemana aja, atau apa?" Mandala balas melirik.

"Yup!" Sikap Zena tampak santai, tapi tidak dengan isi kepalanya. Jika bisa ia mau cari keberadaan Hanum. Secemburu itukah? Iya! Zena cemburu tapi ditutupi.

Beberapa kali tarikan napas panjang dari Mandala membuat Zena bersiap dengan cerita terburuk.

"Kamu tau kan kalau sesama mahasiswa indo suka ada perkumpulan?"

Zena mengangguk.

"Dia kuliah hukum, memang mau jadi pengacara. Kita kenal di perkumpulan itu. Tepatnya dia yang kenalan duluan karena aku saat itu nggak banyak teman. Dia ramah, baik dan ya ... menarik."

Point terakhir sudah membuat Zena ingin menjambak rambut Mandala, tapi ia tahan.

"Aku cuek, santai dan kita ketemu sampe tiga kali dikegiatan lain. Ya, aku sama dia sering ngobrol bisa dibilang sampai dekat. Dari situ aku coba untuk buka hati padahal aku masih kepikiran kamu."

Mandala menoleh sejenak ke Zena yang tersenyum tipis. Cukup lega.

"Kita jadian bulan berikutnya, karena beda kampus seringnya ketemuan juga seminggu sekali buat jalan dan makan. Ngobrol-ngobrol aja, nggak lebih. Dia anak pengacara kondang, kakak-kakaknya juga pengacara di sini sama luar negeri."

Oh, keluarga pengacara, batin Zena.

"Lanjut, nih?" tekan Mandala. Acungan ibu jari tangan Zena sebagai jawaban.

Sekali lagi, Mandala tampak berhati-hati memberikan jawaban untuk Zena dengan menarik napas panjang dahulu. "Seringnya aku sama Hanum jalan nggak berdua, tapi rame-rame sama temen-temen lain. Nggak ada hal spesial atau apapun itu, Zen. Sampai masuk di tahun ke dua, aku semakin ngerasa kalau hubungan itu nggak sesuai yang aku mau. Nggak ada percikan, ternyata dia juga bilang hal yang sama ... apalagi keluarganya menentang karena latar belakang keluarga yang beda jauh. Jomplang bisa dibilang.

Kita sepakat putus dihari ulang tahun dia. Hanum nangis karena buat dia, jadian sama aku bikin dia nyaman, aman, disayang dan--"

"Bentar. Sayang? Disayang? Berarti kamu tread dia luar biasa ya sampai dia bisa ngerasa begitu. Apa kamu bilang sayang ke dia? Perhatian kayak gimana yang kamu kasih sampe dia ngerasa disayang kamu?!"

Walau sudah hati-hati menjawab, tetap saja Zena punya celah untuk  beragumen.

"Iya, pernah, Zena ... aku pernah bilang sayang sama dia, tapi ternyata sayangnya kayak sahabat aja. Bukan kayak sama kamu yang memang aku sayang teramat dalam, Zena ..., Hanum terlalu dituntut perfeksionis dikeluarganya sampai lupa kalau dia punya batas hati untuk menerima kasih sayang dari orang lain yang selama ini dia taunya memberi apa yang dia punya untuk bikin senang keluarga."

Mobil mendadak menepi, Mandala tau Zena sudah cemburu sekali, tak enak jika mendadak ribut saat mengemudi, Mandala mau semua selesai saat itu juga.

"Denger aku, Zena si kepala batu dan super ngeyel." Mandala meraih jemari tangan calon istrinya, ia genggam lembut. "Tangan ini yang aku butuh dan mau setiap saat untuk elus kepalaku, wajahku, bahuku. Juga tangan ini yang aku mau untuk jewer telingaku, jambak, pukul kalau aku bikin salah. Tangan lembut ini yang aku mau tuntun dari sekarang sampai kita beruban nanti. Bukan tangan perempuan lain yang pernah singgah dihidup aku. Hanum dan aku pernah pacaran, tapi dihati aku bahkan nama kamu yang terus ada, bukan dia. Jadi tolong, Zena ... jangan berpikir yang aneh-aneh, cemburu kamu kayak lagi introgasi pelaku kejahatan tau nggak. Kamu juga dulu bakal calon pengacara, aku tau gimana kamu terus cecar untuk cari jawaban jujur dari aku. Apa aku bohong? Lihat aku, Zena," pinta Mandala.

Terjebak Mantan Belagu! ✔ (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang