Terendus

940 129 7
                                    

💞

Tengah malam Zena terjaga, tubuhnya sudah tak demam tetapi masih dipasang infusan yang esok pagi baru bisa dilepas. Rosa tidur pulas di sampingnya, anak TK B itu menggemaskan dengan kulit putih dan bulu mata lentik.

Zena sejak beberapa menit lalu melakukan penyelidikan mandiri terkait Hanum. Iya, ia memang tak bisa melepaskan begitu saja wanita yang pernah jadian dengan calon suaminya.

Sambil mengunyah biskuit keju, Zena terus menyelediki. Media sosial sasarannya, juga beberapa artikel tentang latar belakang keluarga Hanum.

"Oke, lulusan terbaik, bergabung di firma hukum kakaknya, pernah jadi pengacara artis dan istri pejabat yang difitnah dapat gratifikasi, salah satu anggota pengacara perempuan muda berpengaruh. Oke juga ...," gumam Zena. Ia melirik jam dinding, Mandala tidak menghubunginya, hingga Zena menelponnya lebih dulu.

Mandala masih di jalan, ia menghentikan sepeda motornya di tepi jalan. Saat melihat nama Zena muncul di layar, ia memijat pangkal hidungnya lantas membiarkan ponselnya terus berbunyi. Mandala tancap gas untuk kembali ke kosan.

Beberapa saat lalu ....

Mandala tiba di kafe tempatnya janjian dengan Hanum. Segera ia turun dari sepeda motornya lantas berjalan masuk ke dalam kafe bernuansa warna putih dan biru langit.

Hanum tersenyum menyambut Mandala, begitu terlihat ramah. "Kirain aku kamu nggak mau dateng, aku seneng kamu ke sini, Mandala," cicit girang Hanum. Ia sudah menanggalkan blazernya, menyisakan kemeja putih sebagai dalaman dipadu celana panjang warna pink muda.

Hanum tersenyum sambil terus menatap Mandala yang juga menatapnya. "Ada apa, Num?"

"Nggak apa-apa, kita udah lama nggak ketemu dan nggak salah dong aku mau ajak kamu ngobrol," tukasnya.

"Kita udah putus, kan?" tekan Mandala.

Hanum tersenyum kecut sambil menundukkan kepala. "Sepihak. Aku masih mau jalanin sama kamu dari saat itu, tapi kamu nyerah karena keluargaku menentang. Aku bisa apa, Man?" Ia menoleh ke Mandala sambil tersenyum miris.

"Udah, ya, semua udah selesai. Jangan diingat lagi. Bukannya kamu juga sadar kalau hubungan kita nggak ada kemajuan?" Mandala tak lepas menatap Hanum yang mengangguk pelan.

"Zena. Dia yang tetap ada di hati kamu, kan? Kamu jujur sama aku dari dulu. Kita jadian karena masing-masing mau coba untuk buka hati. Tapi kamu susah lupain Zena." Hanum kembali tersenyum sambil menatap Mandala yang menghela napas panjang.

"Dia bukan sekedar mantan pacarku jaman SMA, tapi dia segalanya, Num." Suara bernada lembut Mandala hanya bisa membuat Hanum mengangguk lagi sambil menunduk.

"Kalian ... yakin udah saling percaya? Bukannya Zena juga punya mantan yang pengacara top itu, aku kenal sama dia."

"Percaya. Dan mantannya Zena itu juga nggak pernah hubungi Zena lagi."

"Siapa bilang." Hanum menunjukkan foto pada ponselnya. Terlihat Zena sedang duduk di salah satu kafe bersama lelaki yang terlihat gagah, mapan, tampan, keduanya tampak sedang bicara dengan bahagia karena senyum dan tawa Zena begitu lepas.

"Ini foto lama," tukas Mandala.

"Bukan. Foto dua hari lalu. Kamu nggak tau Zena ke mana aja? Kamu tau nggak, Zena dan mantannya ini cocok. Apalagi Zena mantan anak hukum. Intuisi dia buat jadi pengacara itu tinggi. Mantannya dia ini salah satu orang yang support Zena kalau masih mau kejar impiannya jadi pengacara. Foto ini aku ambil tanpa mereka tau, karena awalnya aku mau Zena yang tau lebih dulu kalau aku ketemu mereka, mau aku ledekin. Ternyata kamu dan Zena udah tunangan, aku jadi bingung. Apa Zena dan kamu sama-sama udah yakin juga percaya dengan hubungan ini?"

Hanum tersenyum tipis, Mandala terus memperhatikan foto yang ditunjukkan wanita itu.

Obrolan keduanya lanjut sambil makan malam walaupun Mandala lebih banyak diam, hanya sesekali menanggapi dengan senyuman.

"Aku suka nonton video konten artis yang kamu pegang waktu itu, Man. Sekarang nggak sangka kamu milih kerja kantoran, diperusahaan Pak Dipa juga. Kamu kejar Zena bisa banget," kekeh Hanum.

"Kebetulan aja," jawab Mandala. "Aku pamit pulang," pamit Mandala seraya beranjak. Hanum segera berdiri, ia menahan Mandala dengan menarik tangan calon suami Zena.

"Kamu ... nggak berpikir aku mau gagalin pernikahan kalian, kan? Aku cuma nggak mau kamu nanti menyesal, Man," lirih Hanum. Mandala melepaskan tangan Hanum dari lengannya.

"Itu urusanku, Num. Aku dan Zena bisa bahas ini. Terima kasih makan malamnya, jaga diri kamu." Mandala meraih jaket yang diletakkan pada kursi lantas berjalan keluar dari kafe, tetapi tak langsung pulang, Mandala justru mampir ke rumah orang tuanya dengan alasan mencari buku tahunan saat ia SMA dulu.

***

Zena terpaksa tak bekerja, ia harus istirahat dulu. Setelah infus di lepas, ia bisa berjalan ke halaman paviliun untuk berjemur. Ia butuh vitamin D sambil nunggu penjual ketupat sayur langganan lewat.

Mandala membuka pagar kosan, ia tersenyum menyapa Zena. Setelah mengeluarkan motornya, Mandala menghampiri Zena.

"Hati-hati," pesan Zena seraya mengusap wajah Mandala yang memejamkan mata.

"Kamu udah enakan?" Mandala memegang kening Zena.

"Udah. Ini mau nunggu tukang ketupat sayur, laper banget aku."

Mandala menarik napas dalam lalu menghembuskan pelan masih sambil duduk di atas motor. "Kamu yakin sama semua yang kita jalanin, kan, Zen?"

"Yakin. Kenapa emangnya?"

"Kamu masih komunikasi sama mantanmu yang pengacara itu?"

Zena sudah bisa menebak arah percakapan ke mana. "Terakhir tiga hari lalu, aku lagi janjian makan siang sama Samantha di kafe, dia muncul tanpa kita janjian apa-apa dan kita ngobrol. Bahas kasus yang lagi dia tangani, sih. Kok kamu bisa tanya gitu? Ada yang lihat ya?"

"Kenapa nggak bilang ke aku, Zen? Aku semaleman nggak bisa tidur mikirin itu."

"Kenapa dipikirin? Emang kamu tau dari mana? Nah ... kan, kamu dari mana semalem? Hayo ngaku ... kamu ke mana, hum ... hum?" Pelotot Zena. Mandala akhirnya jujur, Zena geram, jika tidak sakit sudah ia hampiri Hanum.

"Kayaknya niat dia udah terendus aku, deh, Dala. Dia tuh sengaja pulang buat kamu. Eh ternyata kamu udah punya calon istri. Dia mau coba obrak abrik hubungan kita, Dala!" tegas Zena.

"Nggak, lah ... dia nggak gitu. Aku juga udah tegasi ke dia kalau kita saling percaya."

Zena menyipitkan kedua matanya menatap Mandala. "Semalem kalian jalan berdua?" cecar Zena. "Makan di mana? Dia pegang-pegang kamu, nggak? Ngerayu kamu nggak, Dala? Kurang ajar dia, ya ... benerkan feelingku, kalau dia tuh jatuh cinta sama kamu tapi kamu malah gamon ke aku!" tunjuk Zena ke dirinya sendiri.

"Nggak ngapa-ngapain aku. Yaudah nggak usah dipikirin, ya. Aku kerja dulu. Kamu istirahat. Makan yang banyak biar nggak kurus banget. Makan melulu tapi nggak gendutan," kesal Mandala.

"Ya bagus, dong! Berarti aku bisa jaga badan," sombong Zena. Mandala memakai helmnya, lalu mengedipkan sebelah mata ke Zena yang membuat dirinya memberikan ciuman jarak jauh.

Sepeda motor menjauh, Zena mendadak geram dan menghubungi Lana juga Samantha untuk membahas masalah ini.

bersambung,

Terjebak Mantan Belagu! ✔ (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang