"Lagi pulang mbak Dila?" Sapaan perempuan hampir paruh baya yang lewat depan rumah, membuat Dila menjeda sejenak kegiatan menyapu nya."Iya Bu Hamid. Dari pasar bu?" Dila balas bertanya. Meski sebenarnya pertanyaan nya itu tak butuh jawaban. Tangan kanan Bu Hamid membawa keranjang berisi sayur dan ikan. Orang di daerah sini sudah tahu kalau sekarang Dila mengajar dan kos di Jombang.
"Iya mbak. Ini tadi anak-anak minta dimasakin ikan bumbu kuning"
"Hemm, pasti sedep banget nih Bu. Masakan Bu Hamid kan enak banget" sahut Dila memang pernah merasakan masakan perempuan yang rumahnya hanya berjarak tiga rumah dari rumah ini.
"Ah bisa aja mbak Dila kalau muji ya...." Bu Hamid tersipu namun terlihat senang dengan pujian dari Dila.
"Ya udah. Lanjutin nyapu nya mbak Dila. Yang bersih lho ya. Awas kalau nggak bersih .."
"Memang kenapa kalau nggak bersih Bu?" Tanya Dila memang tak tahu.
"Nanti jodohnya berewokan kalau nggak bersih" jawab Bu Hamid diiringi tawa kecil.
"Yuk ya mbak...." Bu Hamid berlalu juga dari depan rumah. Menyisakan Dila yang malah terdiam dengan sapu masih di tangan.
Dila pun mengedarkan pandangan ke arah teras rumah yang hanya berukuran 3 kali 4 itu. Meneliti setiap pojok apakah sudah bersih atau masih menyisakan debu.
"Hiihh....aku ogah ah punya suami berewokan" gumam Dila pelan sembari bergidik. Entah kenapa ia geli kalau melihat cowok dengan aneka rambut di sekitar dagu. Baik itu kumis, jambang maupun jenggot. Dila jadi ingat tulisan di notes nya tentang kriteria suami idaman. Mungkin ia nanti akan menambahkan poin selanjutnya. Jangan berjenggot alias berewokan.
"Jenggot itu katanya sunah nabi lho" Dila ingat seorang teman kuliah nya pernah berkata begitu.
Meski sunah disini bukan bicara tentang hukum sunah dimana jika dikerjakan mendapatkan pahala dan kalau ditinggalkan tidak mendapatkan dosa. Tapi sunah disini adalah meniru alis mencontoh gaya Rasulullah dimana menurut riwayat Rasulullah itu dulu selalu memelihara jenggot.
"Tapi ini tentang selera....Bantah Dila dalam hati. Dila lebih suka lelaki berpenampilan maskulin, rambut cepak dan wajah bersih dari aneka rambut selain alis dan bulu mata.
"Hai mbak Dila...."kembali terdengar suara menyapa. Kali ini terlihat gadis remaja menyapanya.
"Eh Hai Nana" sapa balik Dila. Nana ini adalah putri pak Maryo yang tinggalnya di ujung gang sana. Nana masih duduk di bangku sekolah menengah atas.
"Mau ke mana Na?" Tanya Dila sedikit maju ke depan.
"Disuruh ibu beli telur ke depan sana mbak. Ibu kehabisan telur" jawab Nana dengan senyum bersahabat.
"Oh iya iya. Kamu tambah cantik ya Na" Dila menatap Nana lekat. Membuat gadis SMA itu tersipu malu. Pasti senang dipuji begitu.
"Ah mbak Dila bisa aja...."
"Udah punya pacar Na?" Dila malah menggoda. Dan Nana dengan cepat menggeleng.
"Nggak mbak. Kan nggak boleh pacaran"
"Nggak boleh sama bapak ibu Na?" Goda Dila lagi.
"Nggak boleh sama agama lah mbak. Nana mau sekolah tinggi. Biar punya gelar. Kayak mbak Dina sama mbak Dila" jawab Nana serius.
Dila hanya tertawa kecil mendengar nya. Di kampung ini memang dirinya dan Dina termasuk angkatan paling tua untuk anak muda disini. Meski ada juga putri ustadz Mansur yang lulusan sekolah tinggi Islam. Tapi tinggalnya tidak disini. Dulu Dina dan Dila cukup aktif di kegiatan remaja masjid dan jarang taruna. Jadi semua anak muda disini mengenal mereka. Ya Dila bersyukur kalau ia dan kakaknya bisa menginspirasi anak muda disini untuk memiliki cita-cita tinggi. Tanpa bermaksud menyombongkan diri tentu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
DILA'S LOVE (Short Story)
EspiritualDila yang dulu sangat manja. Dila yang dulu suka ceroboh. Dila yang dulu selalu minta perlindungan dari kakaknya atas setiap kesalahan yang diperbuat. Dila yang dulu hanyalah gadis remaja yang biasa saja, kini tumbuh menjadi gadis dewasa yang juga p...