8. Tak Sengaja Bertemu

591 171 30
                                    


      "Ya Allah si vitacimin itu ngomong kek gitu ma kamu Dil?" Suara Nova sedikit meninggi. Mata bulat gadis berambut keriting itu makin bulat sempurna.

      "Ya gitulah mbak. Aduh aku nggak tahu gimana kalau pak Marto nggak muncul...." Sahut Dila dengan ekspresi bergidik.

      "Tuh kan, firasatku beneran kan. Kejadian kan...."

     "Firasat apaan mbak?"

     "Itu aku kan pernah bilang kalau si vitamicin....eh vitacimin itu bakalan bikin masalah sama kamu. Aromanya ngajak ribut tuh orang...."

      "Masalah apa sih ya mbak. Aku perasaan nggak ngerasa bikin masalah sama dia"

     "Dih...yang bikin masalah tuh emang dia Dila. Bukan kamu..."

     "Lha masalah dia apaan?"

     "Masalahnya dia itu anaknya arwah gentayangan. Pantes aja kalau jadinya kayak jailangkung. Datang tak undang pakai marah-marah segala"

     Dila tak urung terkekeh mendengar ocehan Nova yang ketara sekali diwarnai emosi. Mukanya nggak biasa aja. Meski Dila selalu merasa tak baik jika membicarakan orang lain. Tapi ia tak bisa menahannya diri untuk tak menceritakan kejadian hari sabtu kemarin itu pada Nova.

     "Lagian aku tuh kemarin cuma traktir anak-anak lho mbak. Halah cuma es yang harganya satu gelas nggak nyampe lima ribu itu. Malah aku tuh nggak mau komentar banyak pas anak-anak ekskul band curhat gitu. Ya kayak ngadu tentang kelakuan Vita yang....ya gitu deh" ujar Dila sedikit mengulang cerita yang tadi sudah ia sampai pada Nova.

     "Ya emang dasar dia aja Dil yang nggak waras. Sirik tanda nggak mampu. Dia paling juga nggak bisa traktir tuh anak-anak yang ekskul band. Meski kata kamu cuma es lima rebuan...."

     "Ah kan katanya anak orang kaya mbak. Kalau ke sekolah bawaannya mobil lho. Iya kali aku cuma bawa si matic itu...."

     "Ya Allah Dila... Dila. Kamu tuh kok ya percaya aja sih modelan orang kayak emak anak yang sama-sama suka pamer itu. Lagian ya setahuku nih orang kalau kaya beneran tuh apalagi yang dari orok udah kayak sejak nenek moyangnya malah males lho nunjukin barang atau apa yang dia miliki. Soalnya ya dia udah biasa sama benda-benda mahal yang ia miliki...." Nova menelan ludah. Nadanya sedikit berapi-api, mungkin mirip Bu Megawanti kalau sedang ngelantur...eh pidato di depan massa pendukungnya.

      "Biasanya yang suka flexing, pamer sana sini, nunjukin dia punya ini itu ya orang kaya baru atau justru orang kaya jadi-jadian. Dia butuh pengakuan kalau ia layak disebut kaya. Nah  orang kaya asli tuh nggak butuh pengakuan seperti itu. Orang lain sudah mengakui tanpa perlu mereka pamer. Asli kaya...." Lanjut Nova lagi.

     Dila pikir apa yang dikatakan teman karib plus teman satu kamar kosnya itu benar juga. Orang kaya betulan mah nggak butu pengakuan atas status sosial yang mereka miliki. Nggak penting buat mereka. Dan salah satu contoh golongan orang kaya asli tanpa perlu flexing yang Dila tahu bahkan melihat sendiri karena dekat dengan mereka ya keluarga Pratama. Iya, analisa Nova itu tepat.

     "Iya juga ya mbak. Memang orang kalau asli kaya nggak usah sibuk nunjukin kaya nya orang juga tahu kalau mereka kaya...." Dila menghela napas.
 
       Sebenarnya orang seperti Bu Arwah dan Vita ini bukan pertama kali Dila lihat. Waktu kuliah dulu ia juga punya dosen atau teman kuliah modelan begitu. Sepertinya orang seperti mereka ini makin banyak seiring dunia medsos yang makin menggila. Ingin keberadaannya diakui oleh orang lain. Ingin dihargai dengan menunjukkan kalau ia bisa membeli ini dan itu yang identik dengan orang kaya.

     Ya mungkin tuntutan hidup membuat mereka berbuat seperti itu. Fakta nya sekarang banyak yang memandang dan menghargai orang hanya dari status sosial yang ditampilkan. Atau istilah sekarang pencitraan. Padahal belum tentu juga kalau kehilangan nyata orang-orang tersebut memang seperti itu. Memang kaya dan berduit. Justru sekarang makin banyak di jumpai orang yang suka flexing ternyata penipu.

DILA'S LOVE (Short Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang