27

51.5K 4.6K 310
                                    

Selama seharian penuh, Zidane hanya berada di kamarnya. Rasanya lelah harus turun naik tangga untuk melakukan aktifitas tidak bermanfaat di luar sana, dan rasa peningnya pun masih mendera hingga saat ini. Jika dibilang saat dia berdiri, dunia seakan berputar-putar, itulah yang dirasakannya.

"Kira-kira kejadian gue sama Bang Lian itu mimpi apa bukan?" Zidane memainkan jari-jarinya di atas kepalanya, sambil bergumam. Dia masih bingung dengan kejadian tadi malam, rasanya tidak mungkin jika Lian memeluknya dengan begitu erat, hingga dia jatuh tidak sadarkan diri.

"Bahkan—tentang Mamah gue rada-rada nggak percaya, tapi nyata sih kalo itu. " Dia kembali bergumam dengan helaan nafasnya. Jika dia mengatakan itu adalah mimpi, tidaklah mungkin. Pasalnya dia menangis sampai matanya memerah, sambil memakan bubur hambar di lidahnya itu dengan perasaan yang tak karuan. Mangkuk bubur tersebut pun masih ada di kamarnya, dan tidak sepenuhnya habis karena dia merasa mual.

"Ah~gue masih nggak percaya, kalo nggak Bang Lian sendiri kesini, terus sikapnya nggak berubah. "

"Ngapain mikirin sih? Nambah beban pikiran aja, yang dipikirin tuh hafalan!"

"Seharian ini gue belum murojaah, hue. "

Zidane kembali memijat pelipisnya, dia kini membaringkan tubuhnya ke sebelah kanan. Dia memutuskan untuk tidur lebih awal, dan dia berharap esok hari dia bisa masuk sekolah kembali.

Suara kenop pintu terbuka, Zidane memutuskan untuk tetap menutup matanya, walaupun dengan jelas indra pendengarannya masih berfungsi. Langkah kaki terdengar mendekat ke arahnya, dan tidak lama setelahnya usapan lembut di kepalanya mulai terasa.

"Jangan sakit. "

Jantung Zidane berdetak tak karuan. "Ini suara Bang Lian kan?!" jeritnya dalam hati.

"Gue tau—gue bodoh. " Lian melanjutkan ucapannya dengan perasaan yang tak karuan. Dia bahkan tidak menyangka kata ini terucap, dia juga menyadari dirinya pengecut berani mengatakan hal ini saat pemuda ini tertidur. Perasaan sedarah ini tidak bisa dia bohongi, walaupun kebencian sudah memupuknya dari lama, dia benar-benar takut jika Zidane kenapa-kenapa.

"Gue—gue minta maaf. "

"Sikap gue emang buruk selama ini, gue—gue kurang memahami situasi, gue bahkan benci diri gue sendiri. "

"Gue benci sikap arogan lo, gue benci saat lo bersikap kasar ke Chila yang bahkan nggak tau apa-apa. "

"Kelahiran Chila mungkin awal dari kesengsaraan lo, tapi disini Chila nggak salah, kan? Dia Adik kita, Adik yang harusnya kita jaga dengan baik. "

"Gue bener-bener nggak tau harus apa selama ini—lo benci ke Chila karena perhatian seluruh keluarga besar ke Chila kan? Bahkan Papa sama Mama. "

"Di samping itu, masa lalu? Masa lalu yang buat Papa benci banget sama lo, mungkin Mama dan Feri?"

"Gue nggak tau harus apa, gue emang pengecut nggak bila bela lo di depan, terutama di depan Papa. Sikap buruk lo juga buat gue benci sama lo selama ini, maaf—gue sadar akan kesalahan gue selama ini, maaf kalo selama ini gue nggak memahami situasi lo. "

"Jangan kayak tadi malem, gue takut—gue takut lo kenapa-kenapa. "

Lian kini menangis, terdengar isak tangis yang memenuhi indra pendengaran Zidane. Zidane tidak tahan untuk berpura-pura tidur. Dia benci saat orang lain menangis, dia benci saat orang lain menangis karena dirinya. Dia tidak mau melukai orang lain lagi karenanya. "Gue nggak mimpi?"

"Bang?"

Suara serak itu mengalun terdengar ke telinga Lian, laki-laki itu menghapus air matanya kasar dan menatap ke arah Zidane dengan sorot mata datar. "Suara gue ganggu? Maaf—"

Transmigrasi Mantan Santri? [Otw terbit✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang