Rendra memasuki kamarnya dengan langkah gontai tidak lupa Rendra juga menutup pintu kamarnya tanpa menguncinya. Rendra sangat jarang mengunci kamar nya di karena kan Renza yang suka keluar masuk kamarnya lagi pula Neira dan Rezka tidak menyarankan untuk mengunci kamarnya.
Helaan nafas pelan terdengar, Rendra lega akhirnya bisa bertemu dengan kasur kesayangannya lagi setelah seharian full berada di bawah teriknya matahari.
"Perasaan gua gak enak," lirih Rendra memegang dadanya yang berdetak cepat. Rendra semakin panik saat dirinya semakin dilanda ketakutan yang entah ada ketakutan dari mana.
"Gua kenapa.." lirih Rendra.
Rendra melirik kanan kiri kamarnya, sangat sepi. Karena sepi ini membuat Rendra semakin gundah dengan pikiran yang melayang kemana-mana.
Dengan cepat Rendra mengambil hp nya dan mengklik nama sang papah untuk memberitukan kondisinya yang mendadak seperti ini. Kali pertamanya Rendra merasakan perasaan yang tidak enak, seperti akan ada hal yang membuatnya sedih.
Rendra memijit keningnya dengan tangan kirinya karena tangan kanannya menyanggah hp sembari mengobrol dengan Rezka. Rendra bernafas lega saat Rezka memutuskan untuk langsung pulang, dengan perlahan Rendra menarik nafasnya dengan detakan dadanya yang sangat cepat.
"Abang.." lirih Renza yang berdiri di balik pintu kamar Rendra. Rendra mendengar suara itu, tapi terdengar tidak sejelas biasanya.
"Bang, Ade boleh masuk ya?" Tanpa persetujuan Rendra, Renza masuk dan duduk di samping Rendra. Renza mengamati raut wajah Rendra yang terlihat kebingungan, tatapan sayu juga keringat dingin yang membasahi kening kakak kembarannya itu.
"Abang kenapa?" tanya Renza.
"De.." lirih Rendra.
"Kenapa, Bang?" Renza mengoyangkan bahu Rendra. Rendra tidak menjawab melainkan menjatuhkan kepalanya pada bahu Renza, tidak teringat bahwa dia sedang kesal dengan Renza.
"Abang kenapa?"
"Jangan ninggalin gua."
Nafas Renza tercekat, bingung dengan apa yang di katakan Rendra dan tidak biasanya Rendra berucap seperti itu. Lagi pula Renza tidak mungkin meninggalkan Rendra bukan?
"Ninggalin ke mana Abang? Boro-boro ninggalin kan Abang tau Ade gak bisa bobo kalau gak sama Abang gimana ceritanya kalau Ade ninggalin Abang, Ade tidur gimana," cerocos Renza.
"Bang.." tanya Renza saat Rendra tidak menjawab perkataannya.
"Abang kenapa? Kenapa bisa keringetan gini?" sambung Renza.
"De.. gua kenapa ya? Perasaan gua bener-bener gak enak, bawaanya tuh takut," lirih Rendra tanpa membuka matanya lagi.
"Mungkin Abang capek kan tadi aktiv banget di lapangan, mana lagi panas-panasnya untung aja Abang gak mimisan, kalau mimisan pasti cewek-cewek pada alay," cerocos Renza dengan pikiran randomnya.
"Tapi lo yang lebih lebay, De." Renza cengegesan. "Kan Ade khawatir sama Abang."
"Gua selalu khawatir sama lo tapi lo menyepelekan, termasuk kayak tadi katanya cukup basket aja kenapa bisa ikut futsal juga, lo mau bangunin singa?"
"Nda ih Abang, maafin Ade. Ade cuma pengen ngerasain aja, gak apa-apa deh sekali seumur idup," kata Renza dengan matang karena selama ini keluarganya membatasi geraknya dalam olahraga.
"Heem."
"Velly gak kesini? Tumben biasanya ikut-ikutan Ade ngekor Abang."
"Enggak."
"Ade sayanggggggg Abang, banget," ucap Renza terdengar sangat sungguh-sungguh.
"Gua lebih."
"Tapi Abang sering sama Velly."