FW 20

71 17 6
                                    

Pada sebuah ruangan yang bertuliskan manager, pada sebuah papan akrilik di atas meja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Pada sebuah ruangan yang bertuliskan manager, pada sebuah papan akrilik di atas meja. Hyuna menyodorkan amplop coklat berisi sejumlah uang kepada manager mall.

"Atur semua agar tidak ada yang curiga bahwa kejadian tadi adalah kesengajaan." Hyuna menyeringai. Berharap Jihyo benar-benar keguguran karena kejadian tadi.

Manager itu mengangguk patuh dengan perintah yang Hyuna berikan. "Saya laksanakan sesuai perintah anda, Nyonya."

"Kirim ambulance untuk menolong wanita itu. Aku tak ingin reputasi mall ini tercoreng, paling tidak semua berjalan senatural mungkin." Kembali Hyuna memberikan titah.

Setelah semua berjalan sesuai dengan rencananya. Hyuna kembali ke rumah setelah tuan Park menghubunginya. Ayahnya dan Jimin sudah menunggunya di rumah. Hyuna kembali menyunggingkan senyum kemenangan. Sudah di pastikan Jimin tak akan datang menemui Jihyo yang tengah kesakitan, karena Jimin tak akan berani ke mana-mana.

Suara dering telepon di atas meja ruang tamu, yang berasal dari ponsel Jimin tak kunjung ia angkat. Jimin sengaja mengabaikannya karena kesibukannya. Ia tak mengetahui jika Jihyo tengah menghubunginya. Segala umpatan Jihyo layangkan karena Jimin tak kunjung mengangkatnya. Jihyo merasa kecewa dengan Jimin. Pikirnya pria itu akan siap sedia jika Jihyo menghubunginya, terlebih saat ini ia tengah mengandung anaknya.

"Jim, kau akan menyesal karena tak mengangkatnya," geram Jihyo. Ambulance yang datang langsung membawanya ke rumah sakit. Ia tengah di berikan pertolongan pertama di dalam ruang UGD karena pendarahannya.

Tak ada seorangpun yang datang menemaninya. Bahkan ibunya juga tak kunjung menjawab panggilan teleponnya. Jihyo menangis, merasa sendirian di tengah kesakitan dan ketakutannya jika terjadi sesuatu pada janinnya.

💉💉💉


Jimin dan Junho tengah menikmati teh di halaman belakang rumah Hyuna. Mulanya mereka hanya berbincang ringan mengenai pertumbuhan Aerin. Sambil mengamati Aerin yang tengah berenang. Cuaca begitu cerah hari ini, sehingga Aerin bersemangat untuk menggerakkan tubuhnya untuk berolahraga sambil bermain air. Senyum ceria yang tergambar pada paras Aerin menghangatkan kakek dan ayahnya.

"Kau lihatkan bagaimana senyumnya. Aku tak bisa membayangkan jika cucuku berubah menjadi murung karena mengetahui permasalahan orang tuanya," ujar Junho setelah menyesap tehnya. Meletakkan kembali cangkir putih dengan ukiran bunga di atas meja.

Cuaca cerah dengan semilir angin itu mendadak terasa panas. Keringat memenuhi dahi Jimin. Jantungnya berdegup kencang.
Jadi appa mertua sudah mengetahuinya.

"Appa, aku memang bersalah. Ijinkan aku untuk menebus kesalahan itu. Aku berjanji akan memperbaikinya." Jimin berucap dengan tenang. Ia mengakui kesalahannya. Sebagai ayah ia tak ingin membuat anaknya sedih.

Park Junho menatap tajam ke arah Jimin. "Seharusnya kau tak pernah lupa dengan posisimu, Jim." Park Junho mengalihkan pandangannya menatap air kolam yang bergerak karena gerakan Aerin di dalam sana, "kau bisa saja tenggelam karena ombak yang kau ciptakan sendiri."

Jimin ikut memandang kolam. Ia menelan ludah samar. Memori-memori yang pernah ia lalui berputar di kepalanya.

"Kau sudah mengecewakanku. Apa yang kau nikmati itu milik putriku. Kenapa kau tidak tahu diri menggunakannya untuk memuja wanita lain. Aku sudah berlapang dada ketika kau  menikahinya. Aku tak mempermasalahkan perbedaan kalian. Padahal seharusnya Hyuna mendapatkan yang setara. Yaitu Yoongi." Meski tengah merasa marah tetapi Park Junho dapat menguasai emosinya. Ia masih berbicara dengan tenang. Namun, terkesan dingin dan berhasil menusuk relung hati Jimin dengan kata-kata yang menohok.

"Hyuna berusaha menjaga Aerin agar tidak terluka sepertinya dulu. Aku menyetujui usulannya untuk memindahkan sekolah Aerin di Jepang dan menjaga Aerin di sana," sambung Junho.

"Tapi, Appa.'' Belum sempat Jimin mengungkapkan pendapatnya, Aerin berlari kecil menghampiri mereka.

Aerin meminum teh hangat miliknya, "Apa ibu sudah pulang?"

"Mungkin sebentar lagi, sebaiknya kau segera mandi lalu kita makan bersama selagi menunggu ibumu sampai," ucap Park Junho.

Aerin mengangguk, "Baiklah, kakek. Aku senang sekali kita bisa berkumpul lagi. Sudah lama kita tidak makan bersama. Kakek selalu sibuk dengan pekerjaan kakek di Jepang."

Park Junho memang sangat jarang bertemu dengan Aerin. Selain karena kesibukannya, ia juga ingin menjaga hubungan baik dengan putrinya dengan cara menciptakan jarak. Ia tahu jika sering bertemu dengan Hyuna maka akan menggoreskan luka pada Hyuna, karena putrinya itu akan mengingat penghianatan yang ia lakukan hingga berujung kematian ibunya. Meski sebenarnya Park Junho sangat merindukan cucu dan anaknya. Namun, ketika melihat Hyuna bahagia dengan keluarga barunya. Park Junho tak ingin merusak dengan kehadirannya yang sering menemui mereka. Alhasil Junho hanya menahan rindu itu seorang diri. Mungkin ini salah satu harga yang harus ia bayar karena kesalahannya kepada istrinya.

Salah satu hal yang mendasari mengapa Junho menyetujui pernikahan Hyuna dengan Jimin yaitu, ia melihat ketulusan Jimin menyayangi Hyuna waktu itu. Junho meyakini bahwa, Jimin bisa membahagiakan putrinya. Tapi pada akhirnya dugaannya keliru. Junho kembali merasa bersalah kepada Hyuna.

Park Junho mengusap pucuk kepala Aerin. Senyuman hangat terukir di wajahnya, "Nanti kau akan sering bertemu dengan kakek jika tinggal di Jepang."

"Benarkah? Berarti kita akan pindah ke Jepang ya, Ayah?" tanya Aerin antusias. Menduga ia dan kedua orang tuanya akan pindah ke Jepang dan tinggal bersama kakeknya.

"Lebih baik kau segera mandi, Nak. Nanti masuk angin." Jimin masih berberat hati untuk memutuskan. Aerin menurut dan beranjak untuk mandi.

Manik mata Jimin memandang Aerin dari balik tembok kaca pembatas, antara halaman belakang dan ruangan yang ada di dalam. Hingga anaknya masuk ke dalam kamar. Jimin menghembuskan napas pelan, netranya beralih menatap mertuanya. "Appa, aku pun tak ingin Aerin kehilangan sosok ayahnya, seperti aku dulu. Itu menyakitkan. Aku tak ingin Aerin mengalaminya."

Junho menarik satu sudut bibirnya, menggeleng pelan. Heran dengan pernyataan menantunya, "Apa yang kau bicarakan, Jim? Kenapa saat berselingkuh, kau tak memikirkan hal itu?"

Jimin menunduk, sejemang kemudian menegakkan kepalanya. Senyum licik terulas.

"Hotel The Shilla, 36 tahun yang lalu. Apa kau mengingatnya, Appa?"

🎇🎇🎇

To be continued

𝐅𝐢𝐫𝐞𝐰𝐨𝐫𝐤Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang