Chapter 8

171 15 0
                                    


Takaaki dan Shiho menjadi semakin dekat. Mereka sering makan siang bersama dan berakhir pekan bersama. Mengunjungi tempat-tempat baru atau mendiskusikan proyek buku Takaaki. Terkadang Shiho yang ke apartemen Takaaki atau terkadang Takaaki yang ke apartemen Shiho. Sering juga mereka bertemu di kafe saat Shiho memberikan masukan-masukan untuk naskah Takaaki. Begitu pula hari ini, di saat Shikoku sedang mendung, Takaaki dan Shiho seharian membahas naskah.

"Terlalu banyak pengulangan, sebaiknya memakai sinonim lain," ujar Shiho seraya menunjukkan bagian-bagian naskah yang sebaiknya diperbaiki.

"Oh benar juga. Aku sungguh tidak sadar saat sedang menulisnya."

"Tidak masalah, itu biasanya terjadi pada penulis."

"Berita terbaru dari Tokyo..." mendadak terdengar suara seorang pembawa berita di televisi di kafe itu, Shiho dan Takaaki menoleh untuk menonton, "hari ini Kudo Shinichi dan Mouri Ran menjalani pertunangan di sebuah hotel mewah di Tokyo. Pertunangan dihadiri oleh keluarga dan kolega kedua belah pihak. Rencananya setelah acara pertunangan, mereka akan mengadakan konfrensi pers untuk mengumumkan tanggal pernikahan..."

Shiho membeku setelah mendengar berita itu, wajahnya seketika menjadi pucat. Jantungnya berdegup cepat, napasnya sesak. Matanya memanas dan Shiho tak sanggup membendungnya lagi. Di saat hujan baru saja turun di luar, ia beranjak pergi dari kafe.

"Miyano-San?" Takaaki yang kebingungan menyusulnya.

Hujan menerpa Shiho saat dirinya keluar dari kafe. Ia hanya sanggup berlari beberapa meter sebelum berjongkok sambil memeluk dirinya sendiri. Tubuhnya bergetar akibat kedingingan air hujan dan isak tangisnya. Shiho tidak tahu yang mana yang lebih menyesakkan, udara yang dingin atau berita pertunangan itu.

Takaaki muncul sembari memayungi Shiho. Kemudian ia ikut berjongkok di sebelah Shiho. Shiho tak bisa berkata apa pun karena terlalu terguncang. Namun Takaaki memang tidak memerlukan penjelasan, ia telah menebaknya sendiri di mata Shiho.

Takaaki memindahkan pegangan payungnya ke tangan kiri, sementara tangan kanannya menepuk-nepuk lunak punggung Shiho.

"Keluarkan saja... keluarkan semuanya..." pinta Takaaki lembut.

Shiho pun menangis semakin kencang.

***

Takaaki mengantar Shiho kembali ke apartemennya. Shiho hanya diam mematung saat Takaaki membantunya duduk di sofa. Akhirnya Takaaki ke dapur untuk membuatkan secangkir teh hangat dan kembali ke ruang tamu untuk menyodorkannya pada Shiho.

"Diminum dulu Miyano-San," kata Takaaki saat dengan hati-hati mengangsurkan cangkir teh ke tangan Shiho.

Shiho hanya meminumnya seteguk sebelum mengembalikannya pada Takaaki, yang meletakkannya di meja tamu. Shiho masih diam termenung, wajahnya pucat dan matanya bengkak karena kebanyakan menangis. Di saat seperti ini, Takaaki tidak dapat meninggalkannya seorang diri karena takut Shiho berbuat nekad. Setelah enam bulan saling mengenal, baru kali ini Takaaki melihat Shiho lepas kendali. Biasanya Shiho terlihat sangat tangguh dan tegar. Namun kejadian ini telah menjelaskan semuanya, Takaaki mulai memahami.

"Jodoh walau jauh pasti akan bertemu. Tetapi bila tidak berjodoh, meski kau sudah menggenggamnya, dia tetap akan pergi," gumam Takaaki.

Air mata kembali bergulir di wajah Shiho.

"Lepaskan dia Miyano-San..."

"Awalnya aku memang tidak banyak berharap... sampai kejadian itu..." Shiho berkata parau dan mulai bercerita saat hubungannya dengan Shinichi mulai berkembang setelah peristiwa bom mobil. Takaaki mendengarkannya dengan cermat.

A Love To GiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang