"Duh lucunya Hiro-Chan!"
Pagi itu Takaaki mendorong kursi roda Shiho untuk jalan-jalan di taman rumah sakit sambil menggendong Takahiro yang sudah keluar dari inkubator. Ran dan Sonoko menemani begitu pula dengan dua mahasiswa wanita yang datang berkunjung. Satunya mahasiswa fakultas hukum dan satunya lagi mahasiswa fakultas sains.
"Senangnya Hiro-Chan berjemur!" kata Ran gemas memandangi si bayi.
"Mirip Morofushi-Sensei ya," kata mahasiswa hukum.
"Eh tapi lihat itu rambutnya ada sedikit coklat gelap seperti Shiho," tunjuk Sonoko.
"Seperempat bule," kelakar mahasiswa sains.
Shiho hanya terkekeh mendengar gurauan mereka. Berulang kali ia mengecup bayi mungil itu dalam dekapannya.
Takaaki sedang membenarkan lipatan mantel rajutan Shiho ketika ia merasakan sesuatu dari balik semak-semak padat di salah satu sudut taman rumah sakit.
"Ada apa Anata?" tanya Shiho menyadari ekspresi suaminya.
"Ah tidak, aku hanya baru teringat harus menelpon ke kampus sebentar."
"Oh oke, telpon saja dulu," kata Shiho.
"Eh," Takaaki mengangguk lalu menatap Ran, "aku titip Shiho dan Hiro sebentar."
Ran mengangguk, "eh, tidak masalah, mereka aman bersama kami."
Takaaki beranjak dari kursi taman.
***
Dari balik celah semak-semak itu ia mengintai Shiho yang menggendong bayinya dan dikelilingi oleh teman-teman dan murid-muridnya. Tiada kesempatan dan di samping itu, taman rumah sakit terlalu ramai. Meski Komei dari Nagano itu tidak lagi di sana, peluangnya masih terlalu kecil. Masih riskan untuk menagih janji setelah ia memberi waktu kepada Shiho untuk melahirkan bayinya.
"Kalau kau memang ingin mengunjungi Hiro, kenapa tidak melihat dari dekat saja?" tanya Takaaki tenang dan ramah.
Wakasa Rumi terkesiap dan menoleh ke belakang. Morofushi Takaaki sudah berdiri di sana dan di belakangnya lagi berdiri Kudo Shinichi.
"Aku harus mengucapkan terima kasih kepada Rumi-San, karena Hiro berhasil lahir dengan selamat," ucap Takaaki dengan nada suara tanpa mengandung dendam.
Wakasa Rumi menaikkan sebelah alisnya, tampak berusaha menganalisis taktik apa yang sedang dijalankan oleh Takaaki.
"Aku mengerti hatimu sedang bergulat. Kau tidak mau melibatkan Hiro yang masih bayi dan tidak bersalah. Tapi, apakah Rumi-San memahami? Ketika Haneda Koji terbunuh, Shiho juga baru seumuran Hiro sekarang."
Wakasa Rumi tersentak.
"Shiho tidak ada sangkut pautnya dengan dendammu."
"Kau sedang mencari alasan untuk menyelamatkannya."
"Aku membantumu untuk menikmati hidupmu yang tersisa," Takaaki mengingatkan.
"Nani?"
"Kita semua adalah korban organisasi itu. Kau, aku dan Shiho," Takaaki mengeluarkan handphone bolong dari sakunya, "bila memang mau dikait-kaitkan, aku punya sejuta alasan untuk membenci semua mantan anggota di sana termasuk Shiho. Tapi aku tidak menginginkan perasaan seperti itu. Kita semua telah sama-sama menderita. Aku dan Shiho ingin menjalani sisa hidup dengan tenang, aku harap kau pun begitu Rumi-San. Mencari-cari alasan untuk membenci, tidak akan pernah ada habisnya."
"Kau ingin aku menyerahkan diri ke polisi?"
Takaaki menggeleng, "aku akan membiarkanmu bebas, anggaplah kita tidak pernah bertemu. Bila kau menginginkannya, Kudo-San bisa membantumu mendapatkan identitas baru."
"Eh," Shinichi mengangguk, "aku bisa menyediakan identitas baru di bawah agensiku."
"Kalau aku menolak?"
"Bila kau tetap ingin balas dendam, maka biarkan aku yang menggantikan posisi Shiho."
"Morofushi-San!" Shinichi protes.
Takaaki mendiamkan dengan tangannya, "walau begitu, aku tidak dapat menjamin ketentraman hatimu. Semua keputusannya di tanganmu, apakah kau ingin menempatkan dirimu serendah itu?"
"Pikirkan Shiho dan Hiro, Morofushi-San," pinta Shinichi.
"Aku percaya kau akan menjaga mereka dengan baik, Kudo-San," ujar Takaaki.
"Tapi..." Shinichi mengepalkan tangannya dengan gemas. Skenario macam apa ini!
Wakasa Rumi tampak mempertimbangkan sejenak sebelum memejamkan matanya seraya mendengus, "beruntung sekali Miyano-San memiliki suami seperti dirimu, Morofushi-San."
Takaaki dan Shinichi menanti dengan tegang.
Wakasa Rumi menghela napas lelah, "aku tak butuh identitas baru itu, aku dapat pergi ke mana pun aku mau," lalu ia melirik Shiho di sana, "aku tak menginginkannya lagi," ucapnya sembari melangkah pergi.
"Tunggu," cegat Shinichi.
Wakasa Rumi bergeming.
Shinichi melemparkan sesuatu yang ditangkap oleh Wakasa Rumi.
"Ini..." Wakasa Rumi menatap bidak shoji yang hilang beberapa hari lalu.
"Aku tahu kau memerlukannya, jimat keberuntunganmu," kata Shinichi.
Wakasa Rumi menggenggam bidak itu erat-erat sambil berlalu dari hadapan mereka. Sejak saat itu, ia tidak pernah terlihat lagi.
Takaaki kembali kepada Shiho bersama dengan Shinichi.
"Sudah telponnya?" tanya Shiho.
Takaaki mengangguk seraya tersenyum, "eh, semua sudah diurus."
Ran bertukar pandang dengan Shinichi, sebenarnya ia juga tahu scenario itu. Shinichi mengangguk sebagai jawaban segalanya telah diselesaikan. Ran menarik napas lega, ia tersenyum memandang Shiho dan bayinya.
Syukurlah Shiho-Chan... Ibumu malaikat dan suamimu dewa...
KAMU SEDANG MEMBACA
A Love To Give
FanfictionA little bit intermezzo of Shinichi-Shiho-Takaaki KOMEN TIDAK PANTAS = BLOCK