Shiho merasakan belaian lembut di kepalanya dan kecupan di keningnya saat ia membuka mata dan menemukan mata suaminya.
"Anata..." panggil Shiho lemah.
"Tidurmu nyenyak?" bisik Takaaki lembut sambil mengelus-elus pipi Shiho dengan punggung telunjuknya. Setelah melihat perjuangan Shiho melahirkan, setelah melihatnya di ambang kematian, dadanya semakin membuncah oleh kasih sayang. Ia bertekad akan memperlakukan Shiho lebih baik lagi.
"Uhm..." Shiho hanya sanggup bergumam mengiyakan. Matanya menatap sekeliling kamar yang dipenuhi oleh kiriman bunga.
"Dari dosen dan mahasiswa," Takaaki menjawab pertanyaan yang tak terucap.
"Bayinya di mana?" tanya Shiho.
"Di ruang incubator, ada Mouri-San dan Suzuki-San yang menjaganya. Beberapa polisi Shikoku juga sudah ditempatkan untuk berjaga."
"Kita belum memberinya nama..."
Takaaki menggenggam tangan istrinya dan mengecupnya, "aku sudah memikirkannya, hanya saja aku tak tahu apa kau akan menyukainya."
"Apa?"
"Hiro..."
"Hiro?" Shiho mengira Hiromitsu.
"Takahiro. Kau suka?"
"Takahiro. Morofushi Takahiro..." Shiho tersenyum, "aku suka sekali."
Takaaki mencium kening Shiho lagi, "bagaimana perasaanmu sekarang? Katakan mana yang sakit, biar kupanggilkan dokter."
Shiho menggeleng pelan, "tidak sakit. Tapi aku lelah sekali. Rasanya tidak bertenaga."
"Kau kehilangan banyak darah, kau harus menerima transfusi darah satu kantong."
Shiho menatap kantong darah di sebelah kantong infusnya.
"Istirahatlah, aku selalu di sini kalau kau membutuhkan sesuatu."
Shiho menatap suaminya penuh arti, "aku hanya butuh kau saja, tidak ada yang lain."
"Aku tidak akan ke mana-mana."
"Gomene..." ucap Shiho gemetar.
"Untuk apa?"
"Gara-gara aku... karena masa lalu keluargaku... hampir saja mencelakakan Hiro..."
Takaaki menggeleng, "bukan salahmu Shiho. Berhentilah menyalahkan dirimu sendiri setiap ada kejadian tidak menyenangkan. Kita sudah sepakat akan hal itu kan?"
"Apa dia akan kembali?"
"Aku takkan membiarkannya."
"Aku tidak takut dengan kematian... Tapi... Aku mencemaskan bagaimana denganmu bila aku tidak ada... Aku tidak mau kau sendirian lagi..."
Mata Takaaki berkaca-kaca, "Shiho..."
"Aku memintanya memberi waktu... Paling tidak sampai aku melahirkan Hiro... supaya ada yang menemanimu... supaya kau tidak sendirian lagi setelah dia membunuhku..."
"Baka," ucap Takaaki, "aku tidak mau kehilanganmu maupun Hiro."
Air mata bergulir ke wajah Shiho.
Takaaki memeluknya, "shh..." bisiknya menenangkan.
"Bagaimana bila dia kembali?" isak Shiho.
"Aku takkan pernah membiarkannya menyentuhmu maupun Hiro."
"Tapi bila dia puas dengan kematianku..."
"Kematianmu juga akan membuatku tidak hidup lagi Shiho," potong Takaaki tegas, "sekarang kau adalah hidupku..."
"Gomene... aku yang telah membuatmu seperti ini. Kenapa? Kenapa kau harus menyayangiku seperti ini? Aku telah membuat ahli strategi ini memiliki titik kelemahan..."
Takaaki mengecup pipi istrinya, "tidak ada seseorang yang tidak memiliki titik kelemahan, Shiho. Bila seorang Miyano Shiho yang menjadi kelemahanku, aku akan selalu menerima dengan tangan terbuka. Lagipula, aku lebih suka menyebutnya anugerah..."
Shiho tak dapat membalas lagi. Ia hanya bisa menangis tersedu di pundak suaminya. Mengapa bisa? Mengapa bisa ada seseorang seperti ini?
Otosan... Okasan... Onee-chan... Arigatou... telah mengirim Kami-Sama untukku... batin Shiho.
***
Shinichi menyerahkan bidak shoji itu kepada Takaaki di luar pintu kamar Shiho. Saat itu Shiho sedang tidur dan Takaaki tidak mau jauh-jauh dari sisinya.
"Menurut Morofushi-San, apa dia akan kembali?" tanya Shinichi cemas.
Takaaki menimbang sejenak, "kalau dia mau, dia bisa kembali detik ini juga. Dengan kemampuan yang dimilikinya, penjagaan polisi Shikoku dan rumah sakit ini tidak ada artinya."
Shinichi mengernyit, "jadi?"
"Fakta bahwa dia menurunkan pistolnya, dia masih memiliki kemanusiaan. Aku telah mempelajari profilnya, dia terjebak dan terombang-ambing antara nurani dan keinginannya untuk balas dendam...
"Kemungkinannya dia bisa saja kembali untuk memastikan dan mempertimbangkan keputusannya...
"Keputusannya bisa melanjutkan balas dendamnya atau mundur..." Takaaki menggenggam erat bidak shoji itu.
"Segala kemungkinannya masih terbuka kalau begitu," ujar Shinichi.
Takaaki mengangguk, "eh."
"Apakah tidak sebaiknya Morofushi-San membawa Shiho pergi? Pindah ke luar negeri mungkin."
"Kau tahu kemampuan Wakasa Rumi. Pindah ke mana pun akan sama saja selama jiwanya tidak stabil antara harus balas dendam atau tidak. Melarikan diri, hanya semakin memancing amarahnya dan menguatkan alasannya untuk balas dendam."
"Morofushi-San punya rencana?"
Takaaki mengembalikan bidak itu kepada Shinichi, "kita lihat saja, apakah dia akan mendengarkan seorang Komei dari Nagano..."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Love To Give
Fiksi PenggemarA little bit intermezzo of Shinichi-Shiho-Takaaki KOMEN TIDAK PANTAS = BLOCK