31

50K 5.1K 357
                                    

"Lo berangkat sama Feri tadi?"

Zidane menoleh, kemudian mengangguk. Dia menutup bukunya dan menatap intens ke arah Thala, yang membuat anak itu menelan saliva kasar. "Lo kenapa kek gitu tatapannya si?"

Zidane terkekeh ringan. "Lo yang apaan, kek ngeliat jelmaan setan aja, emang semirip itu gue?"

Laksa tersedak, merotasi bola matanya mengarah ke arah Zidane. "Sejak kapan lo suka ngelawak?"

"Nggak tau nih, gabut banget. " Zidane memainkan bukunya, membolak-balik nya secara berulang. "Gue maksa dia sih tadi pagi, kaki gue masih sakit soalnya. Ini aja gue bingung pulang bareng siapa nanti. Nggak mau lagi deh sama Feri, ngoceh mulu anaknya. "

Zidane tentu ingat, Feri mengoceh sepanjang jalan. Dia seakan tidak ikhlas memboncengnya, walaupun sepertinya—memang iya. Anak itu seakan tidak ingat jika dia sedang sakit, ah dia memang tidak perduli kan? Pikiran macam apa ini?

"Dia mana mau bareng gue, lebih baik sama Bastian kan?" lanjutnya dalam hati. Dia masih ingat jika Feri juga sempat menyebutkan nama anak itu, dan dia sama sekali tidak heran, kedekatan mereka sudah layaknya saudara kandung. Dan dia, sebaliknya.

"Feri beneran Abang lo?" Laksa menatap ke arah Zidane. "Gue agak nggak yakin gitu, soalnya Feri sedekat itu kan sama Bastian? Gue kira Bastian sama dia yang saudara, ternyata lo. Eh—tapi muka lo sama Feri mirip banget sih, beda kayaknya sama Abang lo yang satunya. "

Zidane kembali terkekeh. "Beneran, rill no fake. Saudara itu terkadang beda jalan pikirannya, ya begitulah. " Dia mengangkat bahunya acuh. Dia tidak ambil pusing dengan hubungannya dengan Feri, biarlah waktu yang berjalan.

Laksa mengangguk-angguk, jawaban yang sama dilontarkan oleh Zidane sama seperti tempo lalu. Dia juga menyadari perubahan emosi Zidane yang sekarang dengan yang telah lalu jika berkaitan Abangnya—Feri. Jika dulu, Zidane tidak suka mendengar nama itu, dan selalu mengaitkannya pada Bastian. Namun saat ini? Dia lihat anak itu tidak terlalu memperdulikannya. "Sekalipun dekat sama Bastian?"

"Ya, Bastian kan emang sepupu gue. "

Laksa beralih menatap Thala. "Tha, kenapa tiba-tiba diem lo?"

Lamunan Thala buyar, dia kemudian menggelengkan kepalanya pelan. Dia hanya memikirkan kejadian kemarin, kejadian yang berlalu begitu cepat. Melihat hal itu, Zidane menepuk-nepuk pelan bahunya. "Masih ngerasa bersalah? Sekali lagi lo minta maaf, gue pecat lo jadi temen gue. "

"Cie, yang nangis kemarin, uhuk!" Laksa mencairkan suasana, yang membuat Thala menatapnya tajam. "Ini juga si Daffa, keliatan anteng banget. Padahal kemarin, nih anak paling keras nggak mau lo pulang Zid, siapa tau lo dimusuhi Daffa gara-gara masuk hari ini. "

Zidane menatap ke arah Daffa yang menatap ke arah Laksa dengan mata menyipit, sesaat setelahnya dia membuangnya wajahnya kasar. Zidane menghela nafas pelan, sambil bersuara, "Lagian kan gue nggak papa. "

"Nggak papa sampai diperban tuh kepala, " sahut Laksa dengan dengusan. Dia jadi sedikit kesal saat Zidane mengentengkan kejadian kemarin, dia merasa hal tersebut seakan-akan tidak bisa membuat nyawanya hilang begitu saja kemarin. "Lu sedetik aja telat, lo yang jadi sasaran kemarin. Nyelamatin orang segitunya. "

"Kalo misalkan ketabrak, kasian. Anak kecil Sa, gue nggak tega, ya kalo seandainya lo atau yang lain berada di posisi itu, gue bakal lakuin hal yang sama. "

"Sekalipun lo jadi korbannya?"

"Ya. "

Laksa menghela nafas berat. Dia tidak mengerti jalan pikiran dari Zidane, anak itu bak malaikat. Dia jadi meragukan sikap Zidane yang dulu-dulu, apa yang membuat anak itu begitu berubah sedemikian rupa?

Transmigrasi Mantan Santri? [Otw terbit✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang