32

51.4K 5.1K 366
                                    

Saat ini, Zidane nampak berada di Markas setelah pulang sekolah. Dia memang tidak ingin untuk pulang ke Mansion, apalagi untuk kembali nebeng dengan Feri. Tidak, dia tidak melakukannya lagi.

Thala sudah menawarkan untuk mengantarnya, namun dia memutuskan untuk ke Markas, karena Thala beserta yang lain juga ingin menghabiskan waktu di sana. Sekaligus, dia juga ingin refreshing dengan otaknya sendiri.

"Lo sekolah Bos? Kok bisa? Kan abis kecelakaan, " celetuk Dika tanpa beban. Pemuda itu nampak asyik memakan keripik yang ada di toples.

"Berani banget lo, " sahut pemuda di sebelahnya. Dia berbisik pada Dika, namun pemuda itu seolah acuh dengan perkataannya.

"Uji nyali dikit, kayaknya udah berubah sih si Bos, " balasnya ikut berbisik. Dia merasa vibes ketuanya kini sudah berubah, apalagi mengingat jika pemuda itu memimpin sholat kemarin.

Zidane merotasi bola matanya, kemudian menghembuskan nafasnya pelan. "Gue kan nggak papa, nggak ketabrak juga kemarin, gue masih nafas. "

Thala yang berada di samping Zidane mendengus. "Gini aja lo dari semalem—"

"Yang nangis nggak diajak, " balas Laksa dengan kekehan, laki-laki itu nampak santai dengan kata-kata yang dia lontarkan. Thala menatap tajam ke arah Laksa, sementara yang lain ikut terkekeh mendengarnya.

"Gue panik, lo pada nggak apa? Wajar gue nangis, cuman reflek, " sahut Thala kesal. Melihat itu Ari kemudian dengan santai menepuk-nepuk pundak Thala seolah menenangkannya.

"Pecat aja nggak sih jadi temen?" Ari terkekeh melihat raut sinis dari Laksa. "Gue tau Tha, hati lo tuh selembut salju, seputih awan~" Dia mengatakan ujung kalimatnya dengan bernada.

Thala berdecak, pemuda itu beralih memakan sebuah snack yang berada di atas meja di depannya. Laksa kemudian merotasi bola matanya ke arah Zidane. "Gue herman—"

"Herman herman, heran!" ketus Thala membenarkan, melihat hal itu Laksa terkekeh menatapnya.

"Santai, gue bercanda. " Laksa merangkul Thala, meskipun pemuda itu nampak ogah-ogahan menerimanya. "Zid, gue heran sama lo, kok bisa hampir ketabrak lo sesimpel itu jawabnya? Mana kek nggak ada beban. "

"Emang bukan beban kan? Takdir—" Belum sempat Zidane menyelesaikan ucapannya, suara Dika memotongnya. Pemuda itu mengerjapkan matanya berulang sebelum memotong perkataan Zidane.

"Bisa-bisanya lo sesantai itu, Bos?! Demi apa?! Minimal—minimal kalo orang abis kecelakaan itu nggak masuk sehari! Emang badan lo nggak sakit-sakitan apa?!" Dia syok sendiri, dengan wajah penuh dramatisnya.

"Dih, berisik banget!" Jeki mendengus, pemuda itu kini melemparkan bantal tepat di wajah Dika. Hal itu tentu mengundang tawa beberapa anak yang berada di sana.

"Haha, rill berisik banget!" Laksa menunjukkan jempolnya, dia beralih merangkul pundak Zidane. "Nggak usah respon Zid, anaknya berisik banget. "

Dika mendengus, menyingkirkan bantal tersebut dari wajahnya. "Apaan lo pada! Kalo wajah gue rusak gimana?"

"Lebay, " sahut Jeki. Dia bergidik ngeri sendiri. "Siniin deh keripik lo, gue mau nyumpel mulut lo. "

"Sekalian deh gue ambilin kaca, " celetuk Thala ikut menimpali.

"Awalnya udah ngenes mukanya, tambah ini udah plus plus ngenes—banget!" Ari ikut menambahkan dengan tawa kembali terdengar.

"Nggak ada akhlak lu semua!" Dika memberengut kesal dibuatnya.

Zidane terdiam sesaat. Situasi ini membuatnya kembali ke saat-saat dulu, sudah lama dia tidak merasakan pertemanan yang dirasa begitu hangat, terakhir saat dia masih berada di Pondok. Semua kejadian seakan terekam jelas di ingatannya, seakan-akan hal tersebut merupakan hal baru dialaminya.

Transmigrasi Mantan Santri? [Otw terbit✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang