Chapter 21 | Moving City?

67 4 38
                                    

(Comment tiap paragraf, ya...)

Harap hati" karena typo bertebaran

-HAPPY READING-

Flaeyra mengalihkan pusat kontak mata dari layar ponsel ke Argharez yang masih terbaring lemah bersama kedua netra yang juga terpejam tenang, berkali-kali gadis itu memperhatikan laju hela pernapasan dada sahabat kecil lelakinya dan kondisi bibir yang kering nan pucat.

Dari malam hingga pagi ini, pemuda itu belum ada rangsangan respons apapun. Membuat Flaeyra mengalami kegelisahan di dalam ruangan tersebut. Diperkirakan antara pukul jam 07.30 ia kembali masuk ke dalam tempat sahabatnya dibaringkan.

Perlahan dengan sentuhan tulus, Flaeyra mengulurkan tangan untuk menempelkan telapaknya di kaki kanan Argharez yang terbungkus celana panjang cokelat dan ditutupi oleh selimut tebal untuk menghangatkan raganya yang lemah ini.

Wajah dari gadis itu begitu muram, risau melekat di hati. “Grez, kok kamu gini lagi, sih ...? Kapan sadarnya? Aku khawatir ...”

Saat sedang fokus menatap wajah lemas pemuda tampan Indigo itu, Flaeyra dikagetkan oleh suara notifikasi WhatsApp grupnya yang juga bergetar di ponselnya. Gadis Nirmala ini, hanya bisa tarik senyum simpul waktu menyimak percakapan dari beberapa gelembung pesan yang dikirimkan oleh para teman kelasnya.

“Kirain siapa, gak taunya grup.”

Dan, kali ini gadis itu lagi-lagi dikejutkan dengan suara berbeda. Batuk ringan, namun terdengar lirih dan seperti nyaris tercekat di tenggorokan. Flaeyra segera memutar haluan untuk menatap Argharez bersama netra melotot.

Mengulum bibir, Flaeyra mencoba beralih menyentuh kulit lengan tangan lelaki itu dengan berharap-harap cemas bila suara ini menandakan jika opininya sebentar lagi akan kembali sadarkan diri.

Dan yang benar saja! Sekarang Argharez menyingkap matanya dengan sangat lemah, sedikit demi sedikit pula iris abu spektakulernya terlihat lagi. Namun di sini, ia baru masih bisa menatap ruangan secara kosong. Mengapa seperti itu? Dikarenakan penglihatan netranya terlalu buram untuk ia telisik sekeliling.

Argharez? Argharez? Kamu sudah bisa dengar suaraku?

Sama-samar pemuda itu mendengar suara lengkingan nada gadis yang memanggilnya. Terasa dekat di sisinya, tetapi mata miliknya belum mampu menyesuaikan kejelasan. Hingga Argharez berinisiatif untuk menutup kelopak netranya sejenak, mengobati pandangan yang masih kunang-kunang ini.

“Khaivandra Veincent Argharezard ....?” Bersamaan lelaki itu membuka mata, penglihatannya akhirnya menjelas, diikuti Flaeyra yang tersenyum manis padanya.

Enggan merespons pada panggilan halus dan senyuman lembut yang terlihat amat cantik itu, Argharez mulai mengedarkan penglihatan ke setempat. Ruangan luas ini adalah kamar tidurnya, berarti ia sedang berada di dalam bangunan rumahnya.

Membasahi tenggorokan dengan ludah, ia membuka bibir pucatnya untuk Flaeyra. “A-aku, pingsan lagi, ya ....?”

Flaeyra menganggukkan kepalanya pelan kala bibir manisnya bertambah lebar atas senyumannya. “Gak apa-apa, kok. Wajar, kan kamu belum fit. Sekarang yang kamu rasain, gimana?”

Sebetulnya Argharez ingin berbohong jika ia telah baik-baik saja, namun karena melihat roman tenang gadis itu dengan senyuman yang terus mengembang, ia menjadi tak tega untuk berdusta. Harus mengatakannya dengan jujur?

“Sebenarnya kepalaku masih sakit, tapi sudah lumayan.” Pemuda itu kemudian melengkungkan bibirnya ke atas dengan tipis. “Kamu nungguin aku bangun, ya ....?”

He Is The Sixth SenseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang