Chapter 28 | Sobriety Simulation

39 4 0
                                    

(Comment tiap paragraf, ya...)

Harap hati" karena typo bertebaran

-HAPPY READING-

Sinar matahari memancarkan cahaya di langit pagi, mentari yang datang menerobos masuk ke dalam ventilasi jendela kamar rawat. Penghuni yang menemani sekaligus menjaga Argharez, masih terlelap dalam tidur, tragedi malam begitu menguras tenaga mereka hingga menimbulkan kelelahan yang hebat.

Mata sembap Flaeyra masih kentara sampai sekarang, belum menghilang. Sekalipun hilang tetap akan menyisakan bekas, bekas tangisan semalam yang amat mendera itu. Posisi tidur gadis ini berada di sisi ranjang pasien di mana kepalanya ada di atas lengan Argharez sedangkan satu anggota tangan putihnya memeluk badan pemuda tampan tersebut.

Di atas sofa panjang berwarna biru dongker, Laova menggeliat dalam posisi duduknya. Gadis Tomboy berambut cokelat brunette dengan style slight waves, meregangkan seluruh otot yang dirasanya sangat pegal. Ia menguap panjang meski langsung sigap menutupnya pakai telapak tangan.

Laova mengucek-kucek mata yang masih kantuk itu, lalu menyingkirkan jari tangannya untuk menilik jam lingkaran di tembok tepat atas televisi digital. Awalnya pandangan netranya buram karena terlalu lama dipejamkan, namun setelahnya menjelas seiring Laova menatap jarum jam.

"Lah, udah setengah sepuluh? Lama banget gue tidurnya," kemam gadis itu lumayan terkejut usai melihat visi di sana.

Laova menghela napas sejenak dengan menunggu nyawa terkumpul lebih dulu sebelum bangkit mengambil air kran di wastafel untuk basuh wajah bantalnya. Sembari menanti, Laova bukan membuka layar ponsel, tetapi menatap sahabat lelakinya yang masih terpejam bersama selang oksigen yang belum terlepas dari salur pernapasan.

"Ini mana, lagi Rafaga kok nggak ada? Keluar kali, ya? Hmm. Udahlah! Cuci muka aja gue, daripada cosplay jadi zombie wake up kayak gini." Akhirnya Laovarnka beranjak dari sofa dan melangkah ke wastafel yang terdekat di kamar mandi.

Suara kran air yang menyala deras di kawasan ruangan ini, berjaya membuat Flaeyra terbangun dari tidurnya. Agaknya jika diingat-ingat, gadis itu tak mendapatkan gambaran alam mimpi apapun dalam fase bawah sadar. Tidur ia tak terlalu nyenyak, seperti terlelap tapi tidak terlelap meski matanya menutup.

Flaeyra merendam netranya dalam telapak tangannya, terasa sakit di bagian mata. Mungkin karena efek dampak menangis tadi malam menjelang fajar, makanya terasa nyeri.

Kini Fleyra menyandarkan punggung kecilnya di kursi yang ia duduki semalam, lalu meluruskan kedua tangan demi mengencangkan otot agar lega dengan melenguh. Benar-benar merasakan pegal yang luar biasa, kala amarah, tangisan, emosi, sungguh mencampur jadi satu. Ditambah.... Ia telah lancang menampar pipi Hevainder Efalno Rhayzaeneld. Situasi paling menegangkan memang ditunjukkan saat beberapa jam lampau.

Tanpa sengaja, Flaeyra membuang napas waktu tatapannya membentur pada wajah damai Argharez. Gadis itu membenarkan posisi tubuhnya di atas kursi sementara dua tangannya ditumpuk di atas ranjang pasien. Mata sayu Flaeyra terus menatap lelaki itu sampai salah satu tangan miliknya mengulur pelan untuk menyentuh lembut pipi kiri atensi yang masih berwarna pucat.

"Masih belum mau bangun, ya? Hampir jam sepuluh, Grez ..."

Flaeyra menundukkan kepalanya untuk mengarah ke opsi lain. Lengkungan bibir gadis itu yang enggan naik, menyentuh perut tempat lokasi luka sahabat kecilnya yang telah diobati walaupun demikian sudah tertutupi baju serta selimut tebal. Hanya menatapnya sebentar kemudian lagi menengok muka Argharez.

"Perutnya masih perih, ya sampe kamu gak bisa bangun? Ayo, bangun ... aku, Laova, Rafaga dari tadi malem nungguin kamu, loh. Please, matanya dibuka." Laova mendengar penuturan lirih sahabat perempuannya yang meminta sangat terhadap Argharez supaya lekas siuman.

He Is The Sixth SenseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang