Chapter 39 | Caught

34 2 8
                                    

(Comment tiap paragraf, ya...)

Harap hati" karena typo bertebaran

-HAPPY READING-

Ludah di dalam mulut berhasil tertelan lagi ke tenggorokan ketika saat Argharez membuka mata untuk teleportasi ke lokasi mintakat lain. Pemuda roh itu begitu dengan baiknya memahami instruksi Renjana yang telah menjelajahi alam sebelah bersama portal gaib.

Argharez mengerjap mata perlahan. Di depannya, ia sudah diperlihatkan rekaman visi yang sedikit menggetarkan kalbu. Menatap daksanya yang digiring keluar dari ICU bersama kedua orang tuanya, mengikuti dari belakang tim medis. Lelaki itu mematung. Baru saja tiba, sekarang dihadapkan situasi yang terbilang cukup intensitas.

“Raga gue ingin dibawa ke mana?” Argharez memutuskan ambil langkah untuk berjalan mengekori mereka yang telah duluan berlalu meninggalkan ruangan.

Pemuda tersebut kembali senyap, menyusuri panjangnya lorong dengan sesekali menatap sang wajah daksa yang begitu kucam dari samping kiri, dekat pada salah satu ners yang mendorong ranjang pasien elektrik. Suara mesin penunjang hidup nyawa daksa Argharez tetap berbunyi dengan mengalun hening, dua alat berbentuk kotak persegi panjang yang terletak berlawanan arah di masing-masing stander logam yang kokoh.

Andrana memulas kulit suhu rendah dari wajah pucat anak lelakinya, hal yang tentu membuat Argharez di sekitarnya tersenyum. Sentuhan lembut itu bisa dirasakan langsung oleh rohnya, benar-benar menaruh kasih sayang mendalam. Mamanya mungkin tidak mampu memprediksi keberadaan ia, tetapi cukup wanita itu tahu bahwa setengah jiwa dan daksanya terpisah semenjak berakhirnya tragedi berdarah tersebut.

Mereka termasuk Argharezard memasuki ruang sempitnya lift untuk menuju lantai dasar. Cukup membutuhkan 5 menit sampai ke tujuan, hingga embusan dinginnya angin menusuk kulit, daging-tulang ketika pintu elevator terbuka lebar. Dan saat kaki menginjak keramik ubin, turunlah air hujan yang begitu derasnya.

Dokter spesialis yang berada di tepat kanan pasiennya, lekas menarik selimut tebal itu perlahan ke atas dada hingga batas leher. Argharez memperhatikan laku beliau, dokter yang amat profesional, penuh perhatian terhadap pasien Komanya.

Angin di sini sungguh menikam kulit mereka yang terekspos, ini disebabkan koridor lantai tersebut terbuka, tak sepenuhnya tertutup seperti di daerah koridor lainnya. Tersingkap dari sisi tembok sebagai pelindung hingga memamerkan tumbuhan-tumbuhan subur nan alami yang sedang terguyur lebat oleh tangisan bumi. Bau petrikor pula menyeruak ke penciuman insan yang melintasi, termasuk non insan berwujud astral.

Beberapa kali Argharez menunjukkan muka lemasnya kala meninjau daksa yang sangat lemah. Sebetulnya masih bernapas, hanya saja paru-paru dan detak jantungnya begitu lelah untuk bekerja, menyisakan separuh tipis tenaga demi konstan mempertahankan atma tetap di raga. Begini, ya rasanya melihat sekaratnya tubuh sendiri?

Sangat keren, namun melemahkan estimasi....

Tiba berhentinya langkah, sukses membuat Argharez membuka mulut kala membaca cantuman di papan aluminum. Radiology room? Ah, kini pemuda itu paham mengapa daksanya yang terbaring di situ digiring ke lantai paling mendasar. Tanpa sadar, dirinya mengangguk kepala. Benar-benar mengerti tujuan tim medis.

“CT-scan, atau MRI?” Pertanyaan itulah yang dikeluarkannya. Karena pada dasarnya jika sudah merujuk ke pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging), maka artinya kondisi krisis daksa Argharez lebih kompleks.

Pintu dengan volume lebar dan tinggi sesuai deretan pintu ruangan lainnya, dibuka tangkas oleh dua perawat lelaki yang berseragam putih itu. Giringan ranjang pasien itu balik lagi terdengar dari decitan roda ketika hendak didorong masuk, namun sorongan yang dilakukan tim medis tertunda kala mendengar cetusan Andrana.

He Is The Sixth SenseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang