Chapter 4 | Strange Things Start

41 10 61
                                    

(Comment tiap paragraf, ya...)

Harap hati" karena typo bertebaran

-HAPPY READING-

Hari malam pun tiba, inilah di mana hari malam ini Rhayzaen beruji nyali untuk ke hutan gelap hanya buat mencari kayu dalam sendirian. Jantung berdegup kencang karena inilah pertama kalinya Rhayzaen mencari kayu api unggun tanpa satu orang pun yang menemaninya.

Hembusan angin mendatang kembali, suara burung hantu juga terdengar, membuat nyali Rhayzaen semakin menciut untuk melangkah ke dalam hutan yang nampak gelap gulita. Semilir angin dingin tersebut meniup rambutnya. Rhayzaen yang mengenakan baju hoodie lengan panjang, mendekap tubuhnya dengan sepasang tangan saking dinginnya. Coba saja jika Rhayzaen mengenakan lengan pendek, kemungkinan besar Rhayzaen demam saat itu juga.

"Namanya juga hutan, pasti kalau malem suasananya bakal berasa kayak di film Horor yang sering gue tonton. Mana ini angin gak berhenti ngoceh sama gue, lagi. Udah tau hamba makhluk ciptaan kesayangannya Tuhan ini gak bisa tahan dingin, masih aja diajak ngobrol!"

Rhayzaen mengembuskan napasnya. "Semoga aja gue lewat sini, gak ada yang ngusik ketenangan ini. Cuman numpang lewat, gak ganggu. Ya, Mit? Demit?"

Rhayzaen berbicara tanpa ada lawan sembari tetap melangkah untuk mencari tumpukan kayu yang sempat Argharez lihat sebelum tiba di lapang tempat mendirikan tenda. Namun sepertinya Rhayzaen kesulitan buat menemukannya dalam waktu sebentar.

Padahal saja, yang dimaksud sahabatnya, kayu bakar itu terletak sangat jauh. Argharez mengetahui keberadaan tumpukan benda pembuat api unggun tersebut secara mata gaib sebelum menemukan lapang luas tuk menikmati liburan panjang selama di sini, hanya saja Rhayzaen memang tidak peka apa yang diartikan Argharezard.

Wajar, bukan? Yang Rhayzaen tahu sahabatnya adalah seorang manusia biasa dan tidak memiliki kekuatan beserta pemikiran spiritual. Terlebih lagi, lelaki itu merupakan insan yang pembawaannya selalu menggunakan logika positif tanpa menonjolkan negatifnya. Bersikap santai dan ramah telah melekat erat di jiwa jati dirinya.

"Kayaknya gue udah tolol banget, dah. Kenapa gue gak nyari kayunya pas tadi sore?! Kalau malem gini, kan mata gue susah nangkep. Mana lupa bawa HP, lagi buat flash penerang jalan!" gerutunya.

"Huhu, udahlah terima nasib aja ..."

Dengan wajah yang penuh lesu, Rhayzaen konstan bersikukuh melangkah menyusuri gelapnya hutan untuk mencari tumpukan kayu demi ketiga sahabatnya yang menanti kedatangannya. Hingga 15 menit masih menggunakan masa pencarian, lelaki humoris itu menyipitkan matanya bersama menghentikan kakinya.

"Itu ... nah! Itu kayu-kayunya! Akhirnya setelah sekian lamanya berpetualang buat nyari, ketemu juga!" pekik Rhayzaen senang lalu membelok arah ke kiri untuk memungut beberapa kayu buat menjadikan sebuah api unggun setelah ini.

Tetapi baru saja akan membungkukkan badan untuk mengangkat semua kayu itu dengan sekuat tenaga, Rhayzaen dibuat terperangah pada suara burung pertanda kematian yakni adalah burung Gagak. Pemuda itu lekas menelan ludahnya bersama mata melotot.

"S-suara burung pertanda kematian, kenapa habitatnya bisa tinggal di hutan kayak gini, sih?!" racau Rhayzaen.

Rhayzaen sekarang memberanikan diri untuk mengangkat wajah tampannya ke atas pohon lepau melihat posisi keberadaan burung tersebut. Seakan, detak jantung Rhayzaen ingin berhenti saat berhasil mendongakkan kepalanya.

Di atas dahan pohon, pemuda jangkung itu yang seharusnya menengok burung Gagak tersebut yang telah bersuara, tetapi sialnya ia malah tak sengaja menatap sesosok perempuan berambut panjang dengan tergerai dalam kondisi kusut nan tak terawat. Rupa wajahnya terlihat jelas hancur, apalagi di matanya tak memiliki sklera.

He Is The Sixth SenseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang