Chapter 35 | Curious

35 4 3
                                    

(Comment tiap paragraf, ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(Comment tiap paragraf, ya...)

Harap hati" karena typo bertebaran

-HAPPY READING-

Alas kaki itu melangkahi setiap jalan yang telah ditempuhi jauh, alam hijau menyinari pemandangan elok dan keindahan. Menyusuri arah yang terbentang lurus tanpa letih hingga ia dijemput oleh lingkaran portal bercahaya yang hendak membawanya ke suatu pesanggrahan teritori....

Alam jiwa manusia.

‹‹-----𝕾𝖎𝖝𝖙𝖍𝖘𝖊𝖓𝖘𝖊-----››

Jeana, sang mama Rhayzaen, menjulurkan genggaman itu untuk menyimpan telapak putranya di dalam tangannya yang direkat oleh jari-jemari. Wanita berambut pendek nan memilki warna yang senada macam anak semata wayang, mengangkat tangan Rhayzaen ke bibirnya, mengecupnya dengan sangat lembut dan penuh perhatian. Telah dari malam hingga arunika matahari menyapa pagi, putranya terbaring di ranjang pasien dengan pakaian kasual yang tergantikan piyama rumah sakit.

“Anaknya Mama mau bangun kapan? Zaen tadi malem pasti kesakitan lagi, ya, hm?” Dengan setianya wanita itu tak ingin berpaling dari wajah pucat Rhayzaen, matanya masih terpejam semenjak kejadian telak bisu semalam.

Pintu kamar rawat inap dibuka oleh seorang pria berahang tegas. Di tangannya menenteng plastik putih yang entah apa isinya, ia menggeser pintu untuk ditutup kembali, kemudian mengambil langkah menghampiri wanita cantik itu dan lelaki remaja yang terbaring lemas bersama jarum infus.

“Ma, ini Papa belikan bubur ayam dua porsi, ya? Nanti dimakan sama Rhayzaen kalau Rhayzaen sudah sadar,” tutur Faerhan seraya meletakkan sepasang mangkuk plastik yang ia tumpuk jadi satu di nakas sisi ranjang pasien.

Pria itu memutar tubuh ke sang istri untuk mendatanginya. “Papa langsung berangkat ke Jakarta, ya?”

Jeana mengerjap tanpa melepaskan genggamannya yang masih merengkuh erat tangan kiri Rhayzaen. “Loh, ke kantor sekarang? Ini, kan masih terlalu pagi.”

“Gakpapa, dari sini sampai sana lama banget, satu jam lebih lima puluh empat menit. Papa berangkat sekarang biar nanti masuk kantornya nggak telat,” ujar jelasnya.

“Oh, yaudah. Perjalanan ke Jakartanya hati-hati, ya, Pa? Di jalan Bogor banyak yang ugal-ugalan, takutnya nanti Papa keserempet.”

Faerhan tertawa pada peringatan Jeana untuknya. “Iya, Maaa! Itu bakal selalu aman, Mama gak usah cemas. Papa tetep jago ngendaliin mobil di jalan!”

“Narsis banget, kayak anaknya,” cibir Jeana dengan terhibur senyum pada cara pengungkapan suaminya.

Diselingi tawa yang menjadi ringan, Faerhan mengecup ujung kulit kepala Jeana untuk pamit keluar kota demi tugas kantor. “Kasih kabar sama Papa kalau Zaen udah bangun. Papa berangkat, ya, Ma?”

He Is The Sixth SenseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang