Chapter 37 | Plasma

38 2 8
                                    

(Comment tiap paragraf, ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(Comment tiap paragraf, ya...)

Harap hati" karena typo bertebaran

-HAPPY READING-

Dengan menahan getar untuk menyudahi ketidaknyangkanya wujud diri sekarang, Argharez membangkitkan dari duduk, menatap lelaki Koma itu sekali lagi. Pantas saja ia merasa mengenali wajah itu, rupanya daksanya sendiri. Merasa seperti sudah mati, namun sebenarnya masih bernyawa, dan kini kehidupannya bergantung alat medis yang berada lingkungan dalam ruangan ini. Sangat menyedihkan.

Desis lirih Ventilator yang menghantarkan oksigen lebih ke paru-paru sang raga yang terlalu letih dan detakan hening monitor pendeteksi jantung yang meniru setiap irama jantung tubuhnya, melengkapi sisi ruangan sunyi. Kombinasi antara sepi dan tangisan dua insan begitu menyayat perasaan hati. Wajah daksa Argharez teramat pucat, matanya terpejam damai bagaikan seorang manusia yang tertidur lelap tanpa pengusik yang berani mengganggu.

Argharez merotasi bola matanya ke arah sepasang istri-suami itu yang diyakini adalah orang tuanya yang setia menemani, dengan air netra terurai, membanjiri muka, terutama mata linangan air sang Mama yang berhasil membasahi selimut white ferarri yang dikenakan tuk tetap menjamin kehangatan daksanya. Argharez melangkah mendekati mereka dengan sorot netra sendu, melihat setiap tetes air mata yang merembes dari pelupuk mereka berdua.

Lelaki tampan itu berjongkok lirih, bersampingan dari kedua orang tuanya dengan masih menatap wajah Andrana dan Asghar yang dirundung kegundahan, mengikuti isi hati yang hancur-lebur. Ia ada di sebelah mereka, tapi kehadirannya tak bisa diprediksi sang Mama begitupun juga serta Ayah. Mereka konstan bergelut di masing-masing dalam rasa sakit yang tidak mampu dibendung.

"Mama sama Ayah sudah gagal, ya, Nak sampai membuat kamu jatuh sakit seperti ini?"

Kalimat tanya yang dilontarkan ke raga putranya oleh Andrana, membuat hati Argharez mengernyit, rasanya diremas-remas pada yang tak kasat mata. Andrana terisak kencang, memeluk daksanya kembali yang bisa dirasakan Argharez secara langsung, wanita itu menyalurkan kehangatan yang berupa hati pedih. Rohnya sangat merasakan estimasi kelembutan ini....

Argharezard menolehkan kepala dengan lemah saat mendengar untaian suara yang keluar dari bibir Asghar, pada akhirnya sang Ayah tak bisu lagi di tempat lembab ini. "Mempunyai kekuatan ini yang seperti dimiliki Argharez, harusnya Ayah lebih mengedepankan fokus menghalangi bencana yang menimpa kamu, harusnya Ayah bisa menjagamu ... Ayah ceroboh, Nak. Meninggalkan Argharez di Jakarta, ternyata memang bukan pilihan terbaik. Maafkan Ayah sudah lalai ...."

Menelan air liur ke dalam tenggorokan, Asghar mengulas kalimat kepada putranya yang terbaring sangat lemah itu. "Bagaimana rasanya kejadian itu diulangi, Nak? Padahal dulu waktu kecil, kamu selalu mendapat perilaku mereka yang sangat nggak adil bagi Ayah, dan juga Mama. Dan sekarang, Argharez menerima kekejaman itu lagi? Astaghfirullah ...." Pria itu menundukkan kepala hingga dahinya menyentuh kaki daksa Argharez yang terselimuti. "Maaf, Nak ... Maaf sebesar-besarnya dari Ayahmu ini ...."

He Is The Sixth SenseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang