Chapter 16 | A Miilion Thanks

26 5 0
                                    

(Comment tiap paragraf, ya...)

Harap hati" karena typo bertebaran

-HAPPY READING-

Di sepanjang jalan di atas batu jembatan alami yang dihiasi warna krem setiap keseluruhannya, tangan Cameron melambai ramah tamah kepada beberapa rakyat yang berlalu-lalang melewatinya. Menyapa dengan lembut bersama senyumannya walau jejak air mata masih membekas di wajah akibat tangisan pedih setelah mengetahui bahwa kedua orang tuanya telah tiada.

“Selamat pagi, Tuan Cameron!”

“Jalani hari dengan baik, Tuan.”

“Ya ampun, kebetulan sekali bertemu denganmu, Tuan yang terhormat dan mulia. Selamat pagi!”

Rhayzaen yang ada di belakang Cameron bersama sahabatnya nang ia papah, melongo dengan hati yang serempak kagum. Banyak sekali dari kalangan rakyat muda maupun tua yang melintasi jalan, menyapa hangat lelaki pemilik bangunan istana tersebut. Sekali menyapa, menggunakan kata sebutan 'tuan' sangat dihormati.

“Gilaaaa! Lo kayaknya termasuk cowok yang disegani banyak warga-warga rakyat di sekitar tempat ini, ya? Boleh, tuh gue ikutan manggil lo yang dipake mereka buat nyapa,” buras Rhayzaen dengan memunculkan gelak tawa.

Cameron menolehkan kepalanya ke belakang tanpa menghentikan langkah, ia ikutan tertawa walaupun sedikit rada hampa. “Kau tidak perlu memanggilku dengan sebutan 'tuan' seperti mereka. Apalagi usia kita tak terpaut angka tahun sama sekalipun, terlebih lagi aku merasa segan dipanggil itu. Seperti terlalu dihormati oleh semua rakyat di sini, Rhayzaen.”

“Lah, woy! Bukannya malah bagus kalo lo dihormati kayak gitu sama para penduduk di tempat alam ini? Jir, kenapa lo malah beda, dah?! Maunya dinistain, yeeee?” timpal Laova setelah Cameron.

Flaeyra yang masih menikmati pemandangan segar yang dinominasikan objek elok ini dengan manik mata tengok sana-sini, terkejut akan perkataannya Laova yang seenak jidat kalau ngomong. Tak sungkan dan ragu, gadis itu menyenggol kencang lengan tangan sahabatnya yang terbungkus baju oblong panjang.

“Kamu gak sadar kalo di belakang kita ada kakaknya Cameron?! Sampe dimusuhin kak Monora, aku gak mau ikutan nanggung buat bantu, ya!” hardiknya.

Wanita itu yang berpoles lipstik pink creamy di bibir manisnya, menggelengkan kepala dengan tertawa halus. Mendengarkan celoteh dari para gadis di depan tubuhnya yang mana sedang berargumentasi.

Astaga! Apakah kalian melihat empat orang remaja yang berjalan bersama tuan Cameron dan nona Monora? Tataplah, mereka sangat tampan begitupun cantik sekali. Dari mana asalnya mereka bertempat?

Ah, sepertinya aku tahu asal-usul empat orang itu yang kau maksud. Dari cara sandang pakaiannya, mereka seperti bukan dari dunia alam sini. Tetapi dunia alam seberang. Apakah kau sadar? Mereka dari versi modern, sangat keren! Tidak seperti kita yang masih mengikuti jalur tradisional

Ingin sekali ku menyapa mereka berempat yang masih terlihat di mata kita untuk mengajaknya berkenalan. Tapi sayangnya, ada rasa malu yang menggerogoti hatiku ini. Aaaaaaa

Tapi, ada satu titik yang membuat pandanganku terpecah di sekitar sini. Kau lihat lelaki berambut hitam yang sedang dituntun oleh kerabatnya? Wajah putih tampannya terlihat begitu pucat seperti mayat

He Is The Sixth SenseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang