Chapter 19 | Suggestion

71 4 5
                                    

“Tersiksa, bukan berarti juga gue akan menggunakan langkah mundur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Tersiksa, bukan berarti juga gue akan menggunakan langkah mundur. Namun, tetap untuk bertahan dalam pedih tanpa membawa dendam hati atau benci” Veincent Argharezard

-HAPPY READING, EVERYONE-

8 Tahun Yang Lalu

Seorang bocah laki-laki berusia 10 tahun, menghentikan kakinya kala mendapatkan tatapan para insan yang tak menyedapkan. Senyuman tampan itu tidak pudar, selalu merekah di wajah untuk menghiasinya. Mereka sedang apa? Mengapa ada yang setengah melihatnya sinis, ada yang setengah berbisik-bisik seakan ia mantap jadi bahan pembicaraan tanpa ngomong langsung di hadapannya.

Mencoba untuk bersikap tenang dan tak berpikiran aneh-aneh, ia menggelengkan kepala lantas membuka pintu kelas waktu di mana sisa jam istirahat masih cukup banyak. Namun saat menyingkapnya....

Argharez!!!”

Detak jantung anak laki-laki yang tak lain adalah Khaivandra Veincent Argharezard, ingin saja berhenti waktu namanya diteriaki oleh guru berjenis kelamin wanita yang nampak posisinya tengah duduk di kursi depan kelas. Kecamuk emosi yang berapi-api itu, membuat Argharez bingung hingga netranya berkedip beberapa kali.

“I-iya, Bu? Ada apa?”

Bukannya menjawab apa yang dipertanyakan siswanya itu, beliau segera bangkit dari kursi sambil menggenggam ponsel yang berada di tangannya. Sementara murid-murid yang lainnya, hanya tersenyum kemenangan saja. Tidak ada yang berekspresi terkejut atau cemas.

“Kamu sekarang, ikut saya ke ruang bimbingan konseling!” pungkasnya, dengan menarik kencang lengan tangan Argharez ke luar kelas hingga terdengar suara riuh tawa gembira di ruang Interior tersebut.

“Ibu! Saya memangnya salah apa, Bu?! kenapa saya dibawa ke ruang BK?!” pekik Argharez.

Guru wanita itu tak menggubris bocah itu yang digeret kasar ke tempat tujuannya. Bukan hanya pertanyaan Argharez saja yang didiamkan, tetapi juga ringis kesakitannya saat di mana jari berkuku itu mengenai kuat kulit putih bersihnya.

Seluruh sepasang mata di Koridor sekolah memperhatikan Argharez yang tak dilepas oleh beliau. Rintih-rintih itu masih terdengar di telinga guru tersebut, hingga dirinya membentak siswa yang dianggap bejat, untuk disuruh bungkam.

Sesampainya di ruang bimbingan konseling yang lumayan pengap karena hanya ada satu buah celah ventilasi jendela atas, tanpa memakai belas kasih, tubuh Argharez didorong begitu saja hingga terduduk di sebuah kursi sofa single yang tersedia lama.

He Is The Sixth SenseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang