37. Ketegangan Tak Diinginkan

118 24 0
                                    

Sudah satu bulan Vee lewati dengan rasa was-was yang terus mengendap. Hari-hari menjelang persalinan bukanlah momen yang tenang baginya. Bukan karena takut melahirkan—tapi karena kekacauan di rumah yang makin jadi.

“GUE MUAK! BERHENTI RIBUTNYA!!” teriak Vee, suaranya pecah, matanya merah menyala, napasnya tersengal. Ia berdiri dari sofa dengan tubuh gemetar, satu tangan menyangga perut besarnya, yang lain menunjuk marah ke arah abang-abangnya yang nyaris baku hantam di ruang tengah.

“Bang Gasya, lo kenapa sih malah ikutan?!” semprot Vee ke Gasya, satu-satunya yang biasanya masih punya akal sehat.

Gasya angkat tangan defensif, napas naik-turun. “Gue cuma ngebales, mereka yang mulai duluan, Vee…”

“Kita tuh nggak ngajak ribut, Bang!” bentak Karel sengit, sebelum pipinya langsung kena geplak dari arah belakang.

“Gue tampar lo bukan karena ribut, tapi karena lo nyolot,” sahut Reksa tajam, wajahnya udah penuh urat.

“Udah-udah!” Kara berusaha meredam, berdiri di tengah mereka sambil nyodorin tangan ke kanan-kiri kayak wasit. “Gue pusing dengernya! Kalian bikin Vee makin stres!”

“Aku doang yang disalahin?!” Arga ngebanting bantal ke lantai. “Gue nggak salah sendirian woy!”

Vee memejamkan mata, memijat pelipis. Ia berbalik pelan, menatap jendela yang gelap oleh hujan deras dan kilatan petir. Di meja, cangkir teh hangatnya masih mengepul, tapi hangat itu nggak nyampe ke hatinya.

PYAR!!

Petir menyambar keras. Cangkir teh jatuh dari tangan Vee—pecah berkeping-keping di lantai. Semua langsung diam.

“Vee?! Lo kenapa?!” Karel yang paling dulu lompat ke arahnya.

Gasya nyusul, letakin tangan di pundak adiknya dengan lembut. “Tenang… lo nggak luka kan?”

Vee nggak langsung jawab. Matanya ngelamun, napasnya ngap-ngapan. “Gue… gue ngerasa ada yang nggak beres.”

“Bang,” katanya lirih ke Gasya, “lo bisa hubungin Dava sekarang… please…”

Gasya langsung buka ponselnya, ngetik dan nelepon berkali-kali. Tapi… nggak ada jawaban. Sinyal pun kayak setengah hidup.

Vee makin pucat. Kara nunduk di sampingnya, pegang tangan Vee erat-erat. “Vee, kenapa sih? Mukamu pucat banget…”

“Gue nggak tau… tapi… perasaan gue buruk banget. Seolah—”

“AAHH!!” Vee mendadak nyengir kesakitan, tangannya melingkar kuat di perut. Matanya melebar.

“LO KENAPA!?” Kara panik, langsung jongkok di depan Vee, nahan badannya biar nggak jatuh.

“Perut gue… sakit… banget…” suaranya lirih, mata mulai berkaca.

“JANGAN-JANGAN MAU LAHIRAN?!” Karel panik.

Gasya langsung berdiri. “Bantu gue! Cepet bawa dia ke mobil!”

“AAARRGGHH!! SAKIT!!” Vee jerit sambil narik rambut Kara yang terlalu dekat.

“ADUH! RAMBUT GUE!! VE SAKIT WOY!!” Kara nyaris nangis, nahan sabar.

“DADDY!!” Reksa langsung lari manggil Nio di ruang kerja.

Kara ngebuka pintu depan, Gasya udah ngangkat Vee dalam bridal style, berlari ke arah mobil.

Nio dan Reksa nyusul dengan cemas.

“CEPET KE RUMAH SAKIT!!” teriak Nio sambil masuk ke kursi depan.

Di belakang, Vee udah setengah kejang nahan sakit.

“LEPASIN BAJU GUE!!!” jerit Vee sambil narik-narik kerah Karel.

ALENZA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang