39

53.1K 5K 320
                                    

"Zidane! Lo keren banget sumpah!"

"Iya Zid, ajarin kita lah. "

"Lo jago banget Matematika nya asli, kenapa selama ini lo males banget pas pelajarannya masuk?"

Zidane menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Entah ke berapa kalinya pertanyaan ini diarahkan oleh teman sekelasnya. Dia tidak tau seberapa cepat gosip semacam ini menyebar, bahkan pihak sekolah saja mungkin—belum mengumumkannya?

"Banyak pertanyaan, hue. " Jujur dia merasa tidak nyaman dengan situasi ini. Sangat berbanding terbalik jika dibandingkan dulu, menatapnya saja mereka enggan, apalagi untuk memulai pembicaraan lebih dulu.

Bagaimana dia dihadapkan dalam situasi ini, padahal jujur dia sama sekali tidak menginginkan hal seperti ini, alasannya untuk mengikuti olimpiade untuk mengukur kapasitas otaknya saja. Bukan mencari kepopuleran.

"Zid! Jawab dong!" Gerry—pemuda itu ikut bersemangat. "Lo asli keren banget! Lo nggak cuman bawa nama kelas, tapi nama jurusan! Lo pasti tau kan, biasanya ikut olimpiade Matematika itu anak IPA! Gue malah ngiranya waktu itu si Fian. "

"Iya, sama. Pengen banget gue gibeng orang yang pernah bilang kalau kelas kita anak bodoh semua, " balas yang lain ikut menyahut. Hal itu dibalas anggukan setuju oleh beberapa orang yang ada di sana.

"Ah itu, biasa aja. " Zidane membalas canggung. Dia sejujurnya juga heran, mengapa dia bisa mengikuti olimpiade Matematika? Padahal jika dilihat dari jurusan, mungkin dia lebih cocok ke arah geografi? Atau hal semacamnya. Pantas saja waktu itu Pak Reza meragukannya, mungkin karena hal semacam ini.

Namun jika mengingat tentang penyetaraan, tidak ada salahnya bukan? Dilihat dari siapa yang paling menguasai pelajarannya saja. Dan, dia juga cepat menangkap pelajaran yang selama ini mungkin tidak dijelaskan di jurusannya.

"Woy! Baru izin sakit Zidane, entar sakit lagi kebanyakan pertanyaannya lo pada!" Ucapan dari Thala seolah dianggap mereka angin lalu, semuanya terlihat menatap ke arah Thala sedikit kesal. Dan Zidane? Pemuda itu memelas menatap ke arah Thala, yang dibalas kekehan ringan.

"Kasian banget mukanya, " ujar Thala menatap ke arah Laksa di sebelahnya.

Laksa, dia ikut menggaruk tengkuknya, sembari menatap ke arah Thala. Dia dibuat terkekeh saat melihat raut Zidane yang berubah-ubah, untuk menjawab beberapa pertanyaan yang dilontarkan. "Ciri-ciri anak populer, nyangka nggak sih lu, Tha?"

Thala menggelengkan kepala. "Nggak, kalo diingat-ingat sifatnya dulu gimana kan?" Thala menatap ke arah Laksa. "Gue bahkan hampir lupa sama sifatnya dulu, dia berubah waktu itu sejak izin sakit satu hari itu kan? Seingat gue. "

Laksa mengangguk. "Iya, dia mulai acuh sih sama sekitar, apalagi buat cari masalah sama Bastian the geng itu. Dia nggak pernah cari masalah lagi di sekolah, dan malah sebaliknya. " Dia memainkan pulpen yang ada di tangan kanannya. "Dia aja hafal hadist kan? Asli, suaranya ngajinya juga bagus banget. Dia jadi ngingetin gue, kalo agama itu sepenting itu dalam hidup. Dan, mengenal agama lebih jauh ketenangan kita dapetin. "

Thala ikut terdiam, dia juga menyadari jika dia belajar banyak hal dengan Zidane. Apalagi masalah agama, semenjak Zidane sering mengarahkan mereka untuk berbuat lebih baik, dia juga merasakan dirinya juga lebih baik dari sebelumnya. "Itu beneran Zidane?"

Laksa menoleh, kemudian tertegun sesaat, dia terkekeh ringan untuk mencairkan suasana. "Gue pernah denger tentang alter ego, mungkin dia punya? Alter ego dibuat secara sadar, untuk menghadapi kondisi tertentu. " Dia membalasnya. "Kita juga nggak tau gimana dia dulunya kan? Kita kenal dia aja dari kelas 3 SMP aja, sisanya nggak tau kan. Bisa aja dia emang pernah masuk madrasah gitu. Orang juga bisa berubah karena keadaan yang memaksa, entahlah. "

Transmigrasi Mantan Santri? [Otw terbit✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang