007. protektif

952 87 2
                                    

Kehadiran Rhun membuat hari-hariku seperti dihantui. Terutama ketika aku pergi bersama Deka.

Layaknya sepasang kekasih, kami sering pergi berdua. Entah makan bersama atau pun nonton. Makin hari, tidak bisa dipungkiri bahwa aku sudah mulai menerima kenyataan tentang cinta sepihak dengan Rhun dan berusaha mencintai Deka sepenuh hati.

Meskipun tidak mudah dan butuh proses.

"Ngapain aja jam segini baru pulang?"

Rhun sudah ada di ruang tamu, masih mengenakan setelan kantor dengan dasi yang longgar. Aku mengelus dada sebab terkejut sosoknya berada di sana. Penerangan ruangan tidak seberapa terang membuat kesan galak pada wajahnya yang datar.

"Habis pulang nugas."

"Ngerjain apa sampe tengah malam begini?" katanya mengintimidasi. "Tadi aku lihat kamu dianter Deka pulang."

"Bukan urusan Mas Rhun!" melihat ia terus-terusan mendesak, aku perlu membela diri agar tidak ketahuan habis pulang nonton bioskop.

"Sejak Gala nitipin kamu ke aku, tentu itu jadi urusanku juga. Sekarang jawab yang jujur, habis dari mana saja kamu sampai tengah malam begini?"

Aku mengerang sebal dan kelewat capek sehingga tidak bisa berpikir lebih jernih. Yang jelas aku marah sekaligus kesal. Perasaan dulu sebelum pacaran, ia tidak sampai segininya? Bukankah sekarang ia terlihat punya banyak waktu luang hanya untuk mengawasiku sampai datang ke rumah? Harusnya aku senang, tetapi kali ini, semuanya berbeda.

"Aku nonton sama pacar, menghabiskan waktu bersama kayak orang-orang pacaran pada umumnya! Puas kamu!" Bentakku dengan nada meninggi, lalu pergi begitu saja meninggalkannya di ruang tamu.

Sayangnya aku tidak punya tenaga lebih untuk memberi perhitungan pada Mas Gala agar tidak terlalu ikut campur dengan urusanku. Dia memang kakakku, tetapi tentu aku juga punya kehidupan sendiri. Sama seperti dia. Selama ini aku tidak pernah kepo dengan siapa dia menjalin hubungan, atau bagaimana dia menjalani masa-masa remajanya yang kelewat nakal. Aku sanski bahwa ayah dan ibu tahu dia tukang mabuk.

Aku langsung tidur, melupakan yang terjadi. Berharap tidak menyesal dengan apa yang aku lakukan tadi.

Matahari masuk ke celah-celah jendela dan horden kamar, membangunkan aku dari tidur singkat semalam. Sambil meregangkan otot-otot tubuh yang kaku, aku pun berusaha bangkit dari kasur. Jam delapan lebih sepuluh menit, aku melihat jam dinding yang berada di atas pintu kamar. Masih ada satu setengah jam lagi untuk pergi ke kampus.

Setelah mandi dan berganti baju, aku pun turun ke bawah untuk sarapan. Biasanya hanya ada makanan yang tersedia di meja, tanpa kehadiran siapa pun. Namun, hari ini berbeda. Aku melihat Rhun-masih mengenakan setelan kantor semalam-sedang duduk memandangi lauk-pauk di meja makan. Setelah menyadari kedatanganku, ia pun segera bangkit dari kursi untuk menyembut.

"Selamat pagi, Bri."

Nadanya jauh lebih tenang dari semalam. Ditambah senyum manis membuat pagiku kian membaik.

"Pagi juga," balasku menyembunyikan gestur kaku. "Masih di sini?" lalu duduk tepat di bangku seberangnya. "Gak ke kantor?"

"Gimana bisa aku pulang setelah apa yang terjadi sama kita semalam?"

Kalau Mbok Dar atau keponakannya dengar, itu sangat ambigu. "Cuman pertengkaran kecil. Mungkin kita sama-sama lagi capek."

"Hal yang besar itu berawal dari yang kecil, Bri. I have to explain, biar kamu ga salah paham."

"Iya, Mas Rhun melakukan itu semua karena rasa tanggung jawab kan? Aku ngerti banget karena kalian sahabat baik. Tetapi setelah ini, kayaknya I have to told him deh. Udah ganggu privacy aku, ganggu kesibukan Mas Rhun juga. Aku bukan anak kecil lagi yang perlu dijaga segitunya."

nothing sweeter (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang