Aku mengaduk jus alpukat sembari memperhatikan Rangga yang duduk di seberang meja. Kantin bawah memang selalu ramai, tapi entah kenapa makan siang kali ini terasa lebih legang. Mungkin karena hari ini kerjaan sedang tak sepadat biasanya, atau mungkin karena Rangga, seperti biasa, bisa membuat suasana jadi menyenangkan.
"Jadi, gimana proyek lo sama tim marketing?" tanyaku, mencoba mengalihkan pikiranku dari jus yang sejak tadi tidak kuminum.
Rangga tersenyum, mengangkat bahunya. "Ah, masih berantakan sih. Mereka mau minta revisi lagi soal konsep iklan kemarin."
"Lagi? Bukannya itu udah yang ketiga kalinya?" Aku menahan tawa, mengingat betapa frustasinya Rangga setiap kali ada revisi baru dari tim itu.
"Iya, yang ketiga. Makanya gue udah mulai merasa revisi keempat tinggal menunggu waktu. Stress bener gue." Dia menggeleng, lalu menatapku serius. "Tapi ya, begitulah hidup orang kantoran, kan? Gak semuanya sesuai rencana. Ada aja cobaannya."
Aku tertawa, mengangguk setuju. "Iya, bener juga. Kita cuma bisa pasrah sama klien dan revisi-revisi mereka."
Aku bisa melihat Rangga mulai membuka mulut, ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi tiba-tiba perhatianku teralih pada sosok di seberang ruangan. Rhun. Dia duduk dengan Alex dan dua temannya. Ia menatap ke kami. Aku mengerutkan kening, menyadari bahwa sejak tadi dia hanya duduk di sana sambil memperhatikan.
"Kenapa lo?" tanya Rangga, melihatku tiba-tiba kehilangan fokus.
Aku cepat-cepat tersenyum dan menggeleng. "Gak apa-apa. Terus, lo sendiri gimana nih? Ada rencana keluar gak weekend ini?"
Rangga mendengus sambil bersandar ke kursinya. "Gak sih thanks. Mending tidur seharian. Ya, lo tahu sendiri kan, gue gak suka banyak kegiatan pas weekend."
Aku tersenyum tipis, merasa cukup nyaman dengan keakraban yang sudah terbangun selama beberapa bulan terakhir ini. Meski begitu, ada rasa canggung yang tak bisa kupungkiri. Di seberang sana, aku merasa Rhun masih memperhatikan kami, bahkan lebih intens dari sebelumnya.
"Gue paham sih mengingat kerjaan lo se-setress apa," jawabku, sedikit gelisah karena Rhun yang makin lama makin terlihat mendekat.
Dan benar saja, tak berapa lama kemudian, aku bisa merasakan kehadirannya di sampingku. Rhun tak berkata apa-apa, hanya diam beberapa detik seolah menunggu kami selesai bicara. Aku menoleh ke arahnya, mendapati tatapan dingin yang sudah kukenal.
"Bri," akhirnya dia memanggilku. "Kamu udah tahu kalau Gala mau pulang minggu depan?"
Aku mengernyit, belum sempat menjawab ketika dia melanjutkan. "Mau ikutan gak nyiapin acara penyambutan kecil di rumah nanti. Ada Kafka. Kita juga udah minta izin ke Ayah dan Ibu kamu."
Rangga terdiam, tampak bingung. Aku ikut terkejut karena Rhun tiba-tiba mengangkat soal kepulangan Mas Gala di tengah-tengah obrolanku dengan Rangga.
"Oh... Mas Gala mau pulang?" Aku memaksakan senyum, sedikit terganggu dengan cara Rhun menyela pembicaraan kami begitu saja. Tapi di sisi lain, aku tak bisa menyembunyikan rasa ingin tahuku tentang acara itu. Kakak sialan itu emang ajaib. Mau pulang atau pergi gak pernah informasi ke keluarga. Malah bilang sama sahabat-sahabatnya.
"Iya," jawab Rhun singkat. "Nanti aku kabarin soal waktunya, biar kamu bisa atur jadwal."
Ada jeda yang cukup canggung sebelum aku mengangguk pelan. "Oke, kabarin aja ya."
Rhun mengangguk, tatapannya masih terfokus padaku. Lalu, dia mengalihkan pandangan ke Rangga, yang sepertinya sudah menyadari bahwa obrolan kami tak akan dilanjutkan.
"Well, kayaknya gue udahan nih makannya," kata Rangga sambil tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. "Makasih buat obrolannya, Bri. Gue balik ke atas dulu ya. Biasa, urgensi sebelum di tagih hahaha."

KAMU SEDANG MEMBACA
nothing sweeter (selesai)
ChickLitBriana selalu percaya bahwa cintanya pada Rhun-sahabat kakaknya-bukan sekadar cinta monyet. Sejak remaja, ia yakin pria itu adalah takdirnya. Bertahun-tahun kemudian, takdir kembali mempertemukan mereka di perusahaan yang sama. Kini, Bri punya kesem...