Briana selalu percaya bahwa cintanya pada Rhun-sahabat kakaknya-bukan sekadar cinta monyet. Sejak remaja, ia yakin pria itu adalah takdirnya.
Bertahun-tahun kemudian, takdir kembali mempertemukan mereka di perusahaan yang sama. Kini, Bri punya kesem...
Mana nih #TimRhun? hehehe. sejak ada yang dm aku tentang kelanjutan hidup Rhun, kayaknya biar adil aku mau nulis POV dari dia deh—atau mungkin dari Gala sama Kafka—kalau waktunya memungkinkan hehe. Oke deh dari pada banyak ngetik, happy reading, all ~
$$
(Rhun)
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Langit New York malam ini dipenuhi bintang, tapi cahaya dari gedung-gedung tinggi di sekitarnya tetap mendominasi.
Di depan, danau kecil di taman ini memantulkan gemerlap lampu-lampu kota, menciptakan pemandangan yang menenangkan. Angin dingin musim gugur berembus pelan, membuatku menarik napas panjang, seakan ingin mengisi kekosongan yang terasa menekan dadaku.
Aku duduk di bangku kayu yang menghadap ke danau. Kedua tangan meraih saku jaket kulit yang mulai memudar warnanya, menekan-nekan pinggiran ponsel yang terasa dingin. Aku tidak pernah menyangka akan menerima panggilan ini—tidak, mungkin aku sudah menduganya, tapi tetap saja, mendengarnya langsung memberikan pukulan yang berbeda.
Telepon Kafka masuk beberapa menit lalu. Suaranya sedikit gemetar, seperti sedang berusaha memilih kata-kata yang tepat.
"Ya, Kaf..."
Kafka mulai basa-basi panjang. Tiap kalimatnya membuat dadaku sesak. Aku yakin, ada sesuatu yang ingin dia katakan.
"Gue... mau ngelamar, Bri, Rhun. Hmm..." Ia berhenti sejenak, seakan menunggu reaksiku. Aku tahu arah pembicaraan ini akan ke mana.
Aku berusaha tersenyum, meski itu tidak terlihat olehnya. Suara tawa kecil keluar dari mulutku, terdengar santai, mungkin terlalu santai. "Bro, gue sama Bri udah lama selesai. Lo gak perlu sungkan. Lagi pula... gue seneng kalau Bri akhirnya sama lo. Di dunia ini, cuma lo satu-satunya cowok yang pantes dapetin dia."
Hening sesaat. Aku mendengar Kafka menarik napas di seberang sana. Dia orang yang terlalu baik untuk membicarakan hal ini tanpa memastikan semuanya benar-benar selesai.
"Listen," katanya akhirnya, dengan nada suara lebih berat. "Gue cuma mau mastiin aja kalau di sini, hmm keputusan gue, masa depan gue, gak ada yang tersakiti. Gue tahu lo, Rhun. Biar gimana pun... gue tahu kalau perasaan lo ke Bri itu tulus. Bukan perasaan sesaat atau apa pun itu."
Aku mengangkat pandanganku ke langit. Bulan sabit menggantung di sana, terlihat kecil dan jauh. Aku merasakan sesuatu mengganjal di tenggorokan, tapi aku tetap berusaha terdengar biasa saja.
"Lo yang ngajarin gue untuk mencintai orang dengan tulus," jawabku akhirnya. "Gue sama Bri—gak akan kayak dulu lagi, Kaf. Gue tahu gue udah ngecewain dia. Sejak saat itu, gue cuma berharap Bri akan menemukan seseorang yang tulus. Gue juga udah pernah bilang, sama siapa pun orangnya, gue turut bahagia."
Begitulah akhirnya percakapan kami. Aku menutup telepon, menatap layar ponsel yang perlahan kembali gelap. Hatiku? Aku tidak tahu. Sebagian dari diriku benar-benar senang karena Bri menemukan kebahagiaannya, tapi bagian lain... Apakah aku bahagia? Apakah aku benar-benar sudah merelakannya?
Aku menatap danau di depanku, refleksi lampu-lampu kota bergerak pelan seiring gelombang kecil di permukaan air. Angin bertiup lagi, kali ini membawa serta kenangan yang seharusnya sudah terkubur.
Gami.
Bayangan terakhir kali aku bertemu dengannya muncul di pikiranku. Aku tidak akan lupa bagaimana aku berdiri di depan pintu kantornya—melemparkan kata-kata yang lebih mirip amarah daripada pertanyaan.
"Lo sengaja kan minta kerja sama sama Good Livin?" tanyaku dengan nada tinggi.
Sikapku memancing Gami untuk ikut emosi. "Oh God. Aku siapa sih bisa milih? Emang kamu doang yang kaget? Aku juga!"
"Setidaknya lo punya suara. Posisi lo itu—" Aku melirik lanyard yang menggantung di lehernya. Posisi tinggi, nama besar.
"Ya, memang bisa. Tapi aku terima kerja sama ini karena memang Good Livin kredibel sama kualitasnya. Bukan, bukan karena kamu... atau siapa pun."
Aku tertawa sinis, tapi itu tidak membuatku merasa lebih baik. "Tapi harusnya lo sadar kalau semuanya gak akan berjalan baik. Hubungan kita—" Aku berhenti, frustrasi. "Lo, Gala, udah khianatin gue!"
Gami menggeleng pelan, wajahnya menunjukkan kelelahan yang aku yakin sudah lama ia rasakan. "Itu beda cerita! Ini pekerjaan, jangan kamu samain sama perasaan pribadi. Itu namanya gak profesional."
Ia mengambil napas sebelum melanjutkan, suaranya lebih rendah tapi tetap tegas. "Sejak dulu kamu tahu kan kalau hubungan kita tuh toxic. Everybody knows it. Kita banyak perbedaan yang bikin kita sering bertengkar. Kamu gak pernah ngertiin aku, begitu juga aku gak ngerti kamu. Hubungan kita kayak lingkaran setan tahu gak?"
Aku menggertakkan gigi, tidak bisa menyangkal apa yang ia katakan. Tapi aku tidak bisa diam.
"Tapi bukan berarti lo harus sama Gala—"
"Rhunn..." Gami menutup matanya sejenak, seperti sedang mencari ketenangan. "Andai aku bisa atur perasaanku, aku juga gak mau, Rhun. Semua datang gitu aja. Aku udah sering denial, tapi berakhir makin sadar kalau perasaanku ke Gala makin besar. Aku gak mau merusak persahabatan kalian. Aku juga gak sanggup jujur alasan aku minta putus."
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Kata-katanya membuatku diam seribu bahasa, tidak karena aku tidak punya jawaban, tapi karena aku tahu dia benar.
Sekarang, di sini, duduk di bangku kayu yang mulai dingin karena embun, aku menyadari sesuatu yang tidak pernah aku akui sebelumnya.
Aku belum selesai dengan masa laluku. Aku belum selesai dengan perasaanku pada Gami. Ya, itu alasan kenapa pada akhirnya aku merelakan Bri. Karena aku tahu telah mengecewakannya.
Aku menatap cincin di jari manisku, benda kecil yang seharusnya sudah aku lepaskan sejak lama. Dengan tangan gemetar, aku mencoba menariknya. Setiap tarikan terasa seperti luka kecil yang membuka kembali. Akhirnya, cincin itu lepas dari jariku. Aku menatapnya sebentar, sebelum mengambil ancang-ancang untuk melemparkannya ke danau di depanku.
Tapi, entah bagaimana, cincin itu malah terbang ke arah yang salah dan mengenai kepala seseorang.
"Aw," desis suara perempuan sambil mengelus pucuk kepalanya.
Aku berdiri refleks. "Sorry," ucapku, mendekat.
"No problem," jawabnya, meski wajahnya menunjukkan rasa kesal. Dia membalikkan badan dan mulai berjalan pergi. Tapi saat aku mendengar dia menggerutu pelan—"Gila kali yang itu om om, dikira gak sakit apa kepala gue di lempar cincin"—aku menyadari sesuatu. Logatnya.
"Kamu orang Indonesia?" tanyaku.
Dia berhenti, berbalik perlahan. Senyumnya kikuk, tapi ada sesuatu di sana, sesuatu yang membuatku merasa seperti... aku bisa bernapas lagi.
"Eh—i—iya. Mas-nya juga?"
Siapa sangka kalau perempuan itu—adalah perempuan yang bisa membuatku percaya untuk memperjuangkan cinta lagi.