24. kembang api yang menyoraki ciuman malam itu

486 57 0
                                    

notes* siap di akhir bab 24. yang minor minggir dulu yaa. eh, tapi bukan adegan eksplisit juga sih. hehe

**
Dunia memang kadang tidak berjalan dengan apa yang sudah kita prediksi. Namun, aku tidak menyangka bahwa prediksiku meleset tentang Mas Gala.

"Kan cari pengalaman gak harus jauh-jauh, Mas?" kataku. Meski ayah dan ibu sudah tidak mempermasalahkannya, tetapi aku masih juga tidak mengerti jalan pikiran kakakku. "Masa baru seminggu di sini udah mau balik lagi ke Australia sih?"

Sejak dulu Mas Gala tidak pernah pergi jauh dariku. Meski kadang kesibukan kami mengharuskan jarang berada rumah. Tetapi, kami tidak pernah meninggalkan rumah ini.

Ketika ayah dan ibu sedang di luar kota, Mas Gala tidak sekalipun meninggalkan aku. Itu juga jadi alasan kenapa ia lebih memilih Rhun dan Kafka mengerjakan tugas kuliah atau nongkrong di rumah.

"Kangen, ya?" ujarnya dengan senyum meledek. Ia melirik sekilas, lalu kembali sibuk mengemas barang bawaannya ke dalam koper. Padahal barang bawaan di kosan sana juga belum sepenuhnya terangkut.

"Ucapan lo gak menjawab pertanyaan gue." Aku masih menyenderkan tubuh di kasur Mas Gala—tentunya dengan wajah yang ditekuk sebal. "Pasti ada alasannya, kan?"

"Mau jawaban serius atau bercanda?" jawabannya semakin membuat aku sebal setengah mati. Melihat aku seperti ingin memakannya, Mas Gala pun menyerah. "Ya, semua yang kita lakukan kan memang punya tujuan, punya alasan sendiri Bri. Tetapi untuk satu ini, gue perlu waktu buat mengerti apa sebenarnya perasaan gue. Makanya, gue putuskan untuk kembalj ke sana. Sebentar aja kok untuk membereskan semuanya. Cuma dua bulan."

Kata-kata Mas Gala begitu ambigu. Maksudnya, apa sih korelasi antara pengalaman hidup atau mencari jati diri? Apakah kuliah jurusan Arsitektur dari S1 sampai S2 membuatnya menelaah apakah dia berada di jalur yang benar atau tidak?

Aku bengong, sedang sibuk menerka-nerka apa yang ada di kepala kakakku itu. Tetapi nihil, tidak ada.

Mas Gala tertawa sambil melempar bantal ke wajahku. Hampir saja aku ingin membalas lempar remote ac di samping. Sialnya, Mas Gala sudah jago untuk menebak serangan balik dan berhasil menghindar.

"Hahahaha udah sih gausah dipikirin. I'm fine kok. Lagi pula lo juga ga akan kesepian. Udah punya Rhun," balasnya dengan senyum yang kali ini aku yakini tulus.

Ya, untuk yang satu itu, aku sudah bilang jika sikap Mas Gala di luar prediksi.

"Mas gak marah?"

"Marah untuk apa? Kalian sudah sama-sama dewasa. Dan...." ujarnya menggantung. "Selama Rhun membuat lo bahagia, gue akan merasa bersyukur dan jauh lebih bahagia."

Aku memicing curiga memandangnya. "Lo kok tumben so sweet sih?"

Mas Gala tertawa lagi. "Semenjak pacaran lo jadi curigaan mulu sih?" katanya. "Tapi serius ... gue happy banget. Gue tahu Rhun cowok yang baik, Bri. Apalagi lo. Lo itu adik gue yang paling berarti. Ngeliat kalian bersama kayak ... so unreal."

Sejenak, aku bisa melihat ketulusan Mas Gala. Ada sejuta kata yang ingin ia berikan, tetapi tak mampu diucapkan. Aku bisa melihat itu dari binar mata dan ekspresinya.

Tiba-tiba saja aku memeluk Mas Gala. Sesuatu yang mustahil dilakukan di antara kami. Rasa sayangnya padaku, sama besarnya. Aku harap, bisa melihat Mas Gala bahagia. Itu saja cukup.

**

"Rumah sepi lagi dong, Sayang?" ujar Rhun yang berjalan beriringan denganku. Tangan kirinya tak lepas menggenggam tanganku, sementara tangan satunya lagi memencet lift lantai apartemennya.

nothing sweeter (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang