010. Tawaran Rhun

757 70 1
                                    

Kalau sedang senang di atas awan, kita jadi tidak tahu diri. Selalu saja ingin lebih dan lebih.

Perhatian kecil yang diberikan Rhun, membuat perasaanku lebih baik setelah patah hati. Dia jadi sering mengajakku pergi keliling Jakarta atau jalan-jalan malam kulineran.

Belakangan juga sering datang ke rumah hanya untuk memastikan bahwa aku makan dengan baik.

Aku menginginkannya.

Rhun ada di masa-masa sibukku saat mengerjakan laporan, datang ke sidang skripsi bersama Kafka, dan menjadi orang yang pertama yang tahu Deka dan Olive sudah resmi jadi sepasang kekasih.

"Aku gak nyangka kalau Deka sama Olive beneran jadian. Selama ini, ternyata mereka main belakang!" Aku berkata sambil bersungut-sungut, sementara itu Rhun hanya santai saja menganggapinya.

"Lupain cowok kayak gitu, Bri. Cewek secantik dan sebaik kamu ... pantes dapetin yang jauh lebih baik," ujarnya yang secara mendadak membuat jantungku tidak karuan.

Apa katanya? aku cantik dan baik? Usahaku melupakannya terasa sia-sia saja dulu.

Malam setelah acara wisuda, aku bertemu lagi dengan Deka dan Olive yang sedang bergandengan tangan. Bukan rasa cemburu, melainkan rasa kesal luar biasa.

Tahu jika kondisiku sedang tidak baik-baik saja, Rhun sengaja datang ke rumah dan meminta izin ke ayah dan ibu—yang saat itu ada di rumah—untuk mengajakku pergi ke luar.

Malam itu Jakarta habis di guyur hujan lebat sehingga udaranya dingin dan jalanan basah. Rhun masih mengenakan setelan kantor sedang fokus pada stir pengemudi. Sementara itu, aku memandang keluar jendela mobil, menatap lampu-lampu kuning penerangan jalan yang membuat suasana jadi romantis.

Di tengah perjalanan, Rhun mengajakku ke kedai burger dekat kantor. Katanya itu burger terenak yang pernah ia makan. Maka, aku sangat bersemangat sekali untuk mencoba.

Kedai burger itu buka sampai tengah malam. Ketika kami ke sana, masih ada beberapa pelanggan-yang mayoritas orang kantoran-sedang duduk-duduk dan nongkrong sambil minum kopi dan merokok.

Rhun memesan makaman ke kasir, sementara aku mencari tempat di samping jendela, dekat pintu masuk. Pandanganku menyapu seluruh isi ruangan, termasuk pada orang-orang kantoran yang memenuhi ruangan ini.

Gimana ya rasanya kerja terus jadi orang kantoran kayak mereka? Baju yang rapih dan modis, serta lanyard yang terlihat keren melingkar di leher mereka.

Melihat mereka, ad rasa insecure di diriku. Apakah aku bisa seperti mereka? Namun, kehadiran Rhun membuat semua perasaan itu hilang seketika.

"Cheese burger di sini paling best seller. I bought it for you. Is it oke?"

"Oke kok. Terus, Mas Rhun pesan apa?"

"Sama kayak kamu," jawabnya sambil tersenyum dan menampilan kedua lesung pipinya yang manis.

Aku mengigit burger gitu, menikmati di setiap rasa, tekstur yang lembut, dan keju yang langsung lumer di mulut. "Enak banget!"

"Aku tambahin ekstra keju karena tahu kamu suka banget sama keju."

Mendadak aku kembali jadi salah tingkah, mengunyah makanan sambil menundukan wajah. Berharap jika Rhun tidak tahu bahwa pipiku memerah.

Ternyata-setelah bertahun-tahun-ia masih hapal makanan kesukaanku.

"Ini enak banget, Mas. Sayang jauh dari rumah. Ini bisa dipesen online gak sih?"

"Bisa kok. Ada di aplikasi pesan antar. Tapi misal Bri lagi kepengen banget, bisa juga nitip ke aku. Nanti aku yang anter ke rumah."

"Gak deh, ngerepotin malah ...."

"Gak sama sekali," ujarnya sambil menggelengkan kepala.

Kami duduk berhadapan, aku bisa dengan jelas melihat wajah Rhun dari jarak sedekat ini. Senyumnya, gerak geriknya, cara dia makan, dan bicara. Semua seolah-olah menjadi bagian dari favorit yang tak terpisahkan.

"Gimana perasaannya sekarang?"

"Better. Terima kasih, Mas Rhun!"

"Patah hati itu wajar. Apalagi ini patah hati pertama bagi kamu..."

Salah. Ini adalah patah hati kedua bagiku. Dan aku jadi ragu ia mendengar semua pertengkaranku dengan Deka waktu di kafe itu. Nyatanya, ia tidak tahu bahwa perasaanku padanya pernah lebih dari yang dibayangkan.

"Awalnya akan sulit kalau kehilangan orang yang kita sayang. Apalagi kalau pacarannya udah lama. Kayak ada yang kosong gitu," ujarnya sembari mengunyah. "But time will heal. Perihal bisa melupakan dan tidak, itu tergantung bagaimana diri kamu menyikapinya."

Rhun bicara panjang lebar meskipun tidak aku minta. Seolah-olah sedang berkaca pada pengalamannya beberapa tahun lalu ketika ditinggal Gami tanpa sebab.

Aku tidak pernah tahu apakah rasanya sama atau tidak. Namun pada kenyataannya, sakit yang diberikan Deka tidak ada apa-apanya dibandingkan saat mengetahui bahwa Rhun punya kekasih baru.

Semua orang tahu jika Rhun sangat mencintai Gami. Entah seperti apa sosoknya-yang kalau dilihat dari sudut pandang Kafka, hubungan mereka terlalu toxic-tetapi pada kenyataannya mampu membuat Rhun jatuh setengah mati.

"Kayak dulu Mas Rhun sama Kak Gami, ya?"

Rhun yang terlihat sedang mengunyah tiba-tiba saja berhenti nyaris mematung ketika aku menyebut nama keramat itu. Lalu ia seperti berusaha membuang bayang-bayang di kepalanya dengan cara melempar pertanyaan lain tanpa berusaha menjawab pertanyaanku. Namun, gestur dan sorot mata tidak bisa bohong bahwa ia masih terpenjara dalam kesedihan yang berlarut.

"Bri mau coba lamar ke perusahaan Mas Rhun gak? Kebetulan staff HRD ada yang mau keluar dua bulan lagi karena dapet beasiswa LPDP buat lanjut s2 di luar negeri. Ya ... ini rekrutmen internal sih, jadi yang tahu memang anak-anak kantor aja. Kalau Bri minat, nanti Mas Rhun kasih Alamat email HRD-nya."

Rhun seolah mempertegas bahwa batasanku untuk tahu tentangnya hanya sampai situ.

Pada akhirnya—dari banyak wanita yang ia pacarin—masih Gami pemenangnya. Sesuai apa yang ia ucapkan tentang "tergantung bagaimana kamu menyikapinya" mungkin Rhun berharap dengan memiliki orang lain dapat melupakan perasaannya pada Gami.

Pada kenyataannya, Rhun tidak bisa sama sekali, atau lebih tepatnya tidak mau mengganti Gami dengan siapa pun.

Terlihat seperti pria berengsek. Namun, apa bedanya denganku? Pada kenyataannya aku menerima cinta Deka karena berharap bisa melupakan Rhun. Aku menggunakan orang lain untuk melupakan orang lain. Melihat Rhun membuat aku berkaca pada diriku sendiri.

"Bri?" Rhun menggerak-gerakan telapak tangannya ke depan wajah, membuyarkan aku yang tengah tenggelam dalam pikiran sendiri.

"Eh ... aku pikir-pikir dulu ya, Mas."

"Iya. Nanti kabarin saja ya, Bri. Tetapi nanti gak langsung keterima. Tetap ada prosesnya. Cuman bedanya gak sebanyak kandidat kalau hiring ke luar."

Aku terenyum sambil mengangguk. Menghabiskan sisa burger dengan rasa hambar. Entah mengapa, selalu saja, setiap merasa sedang di atas awan ... kenyataan selalu membawaku pada pahit dan rasa sakit.

**to be continued**

nothing sweeter (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang