Briana selalu percaya bahwa cintanya pada Rhun-sahabat kakaknya-bukan sekadar cinta monyet. Sejak remaja, ia yakin pria itu adalah takdirnya.
Bertahun-tahun kemudian, takdir kembali mempertemukan mereka di perusahaan yang sama. Kini, Bri punya kesem...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Langit Desember di sini biru cerah tanpa awan, tapi angin masih bertiup kencang, membawa hawa sejuk yang menyelinap sampai ke tulang.
"Udah dulu kali chat sama Rhun. Gak sayang apa nganggurin pemandangan aesthetic kayak gini?" Kafka menyenggol lenganku saat kami jalan beriringan.
Aku nyengir saja sambil kembali mengetikan sesuatu kembali pada pesan WhatsApp untuk mengirimkan foto-fotoku di Australia. "Iya, bawel, bentar lagi ini aku lagi kirim foto."
Iya, aku, Kafka, ibu, dan ayah pergi ke Australia untuk menghadiri wisuda Mas Gala. Sementara Rhun gak bisa ikut hadir karena pekerjaannya di Bali tidak bisa ditinggal.
Pagi-pagi sekali Ibu, ayah, dan Mas Gala sudah lebih dulu pergi ke aula. Sementara itu, aku dan Kafka lebih santai untuk sarapan pagi dan berjalan-jalan sebentar di sekitaran hotel, sekalian menuju aula kampus yang lokasinya tidak begitu jauh dari tempat menginap.
"Ini kayaknya aku bakalan masuk angin sih," ujar Kafka pelan sembari menarik syal-nya kebih erat. Meski katanya ini awal musim panas, hawa dingin tetap terasa menusuk di pagi hari.
"Asli. Mana aku banyak bawanya baju tipis lagi. Habisan dikira udah musim panas."
"Ya, kan?" Kafka setuju. "By the way, kamu udah bilang belum ke ayah, ibu, sama Gala kalau udah resmi pacaran sama Rhun?"
Setelah selesai dengan kegiatan bertukar pesan, aku pun memasukan kembali ponsel ke dalam saku, lalu memusatkan perhatian penuh pada lawan bicara.
"Mas Rhun sih maunya langsung, ya. Cuma aku mau bikin kejutan. Nanti aja pas ketemu langsung di Jakarta. Biar Mas Gala shock..."
"Aku rasa bukan shock lagi. Hampir jantungan dia," ujar Kafka sambil tertawa, diikuti olehku yang membayangkan ekspresinya nanti. "Aku juga penasaran sih, itu mukanya Rhun masih bersih gak setelah ketemu sama Gala."
Aku mengangguk paham. Itu pasti karena dulu Mas Gala mengultimatum agar tidak ada dari sahabatnya yang coba-coba deketin aku jadi pacar. Alasannya cuma satu; Mas Gala gak mau nanti kalau hubungan itu merusak persahabatan mereka.
"Eum, tapi menurut Mas Kafka ... hubungan aku sama Mas Rhun itu salah gak sih?"
Kafka sempat berhenti berjalan, lalu memandangku heran. Ketika aku bilang "kenapa", ia kemudian lanjut berjalan dan membalas dengan perspektif yang bijak.
"Bri, namanya takdir manusia itu gak ada yang tahu. Begitu pun sama perasaan. Kita gak bisa milih suka sama siapa, kan? Jadi, selama kamu single, Rhun single, dan kalian berdua saling suka ... aku rasa gak ada yang salah."
"Jadi, Mas Gala gak akan marah, kan?"
Kafka berpikir sejenak. "Ya, gatau juga, ya. Soalnya aku kan bukan Gala," katanya dengan nada bercanda. "Hehe, yaa, tapi aku yakin sih selama kamu bahagia, Gala juga pasti ikut bahagia. Biar begitu, dia tuh sayang banget lhoo sama adik semata wayangnya."