(Kafka)
Aku menatap tirai ruang fitting di depanku. Sudah hampir sepuluh menit Bri di dalam sana, dan rasanya aku gak sabar lihat hasilnya. Tapi di antara rasa gak sabar itu, pikiranku malah melayang-layang. Banyak kenangan bermunculan, terutama awal mula aku kenal dia.
Cinta tuh memang sering datang gak disangka-sangka, ya?
Waktu SMP, aku sering mampir ke rumah Gala—teman sebangkuku yang rumahnya selalu terasa lebih hangat daripada rumahku sendiri. Ibuku udah lama gak ada, dan Ayah sibuk kerja offshore di luar negeri. Jadi aku sering sendiri di rumah.
Awalnya aku cuma numpang makan dan main di rumah Gala, tapi lama-lama, aku jadi sering nginep juga.
Hari itu, ada anak kecil pakai seragam merah putih datang ke rumah Gala. Matanya bengkak, mukanya sembab, dia nangis keras-keras di depan pintu. Gala gak ada di rumah, jadi aku yang keluar.
"Kamu kenapa?" tanyaku bingung. "Adiknya Gala, kan?"
Dia nggak langsung jawab, malah nyari Gala dengan suara parau, "Mas Gala mana?"
"Gala lagi pergi. Hmm, kamu kenapa nangis? Ada yang nakalin? Ada yang jahilin?"
Bri menggeleng. "Bukan. Buku cetak matematikaku ilang. Besok harus dikumpulin. Ayah sama Ibu pulang minggu depan. Aku gimana, ya, Kak?" katanya sambil sesenggukan.
Aku gak tahu kenapa waktu itu refleks aja. "Ya udah, ayo ke Gramedia, cari buku baru," kataku sambil ambil jaket.
Matanya langsung berbinar, seperti aku baru ngasih dia solusi terbesar di dunia Hahahaha. Aku nggak cuma bantu dia beli buku, tapi juga ngerjain soal bareng sampai dia berhenti panik.
"Mas Kafka, makasih ya," katanya sambil tersenyum lebar. Itu pertama kalinya aku lihat dia senyum. Manis sekali.
Waktu itu, aku cuma anggap dia kayak adik kecil. Anak ceking yang polos dan manis. Tapi semuanya berubah bertahun-tahun kemudian.
Pas SMA, aku sama Gala sekolah di tempat berbeda. Dia di swasta internasional, sementara aku di SMA negeri. Awalnya kami masih sering nongkrong bareng, tapi semuanya berubah waktu Ayahku kecelakaan kerja di offshore. Kondisi keuangan keluarga jatuh buat berobat dan biaya sehari-hari, kami juga harus pindah ke rumah yang jauh lebih sederhana.
Sejak itu, aku jarang ketemu Gala dan otomatis jarang lihat Bri juga.
Sampai akhirnya kami bertemu lagi di UI. Aku, Gala, dan Rhun. Kami bertiga sudah dekat di awal perkuliahan.
"Hai, Mas Kafka!" seru Bri waktu pertama kali aku mampir lagi ke rumahnya.
Aku hampir gak percaya dia adiknya Gala. Bri yang sekarang udah gak ceking lagi, malah kelihatan ceria dan... cantik. Tapi aku gak pikir macam-macam—dan juga gak berani. Dia tetap aku anggap seperti adik kecil.
Sampai suatu hari, semuanya berubah.
Aku baru beli kamera baru waktu itu—hasil dari jaga warnet deket rumah. Gala ngajak aku nemuin adiknya di kantek kampus. Katanya, dia mau nyamperin Rhun.
Bri mau minta foto bareng Rhun, sambil tertawa kecil dengan wajah penuh kagum. Aku tahu tatapan itu—tatapan orang yang lagi suka.
Dari situ, aku sadar kalau Bri suka Rhun.
Dan aku...? Aku gak tahu apa yang aku rasain waktu itu. Yang jelas, aku tiba-tiba jadi sering memperhatikan Bri. Bukan cuma saat dia ketawa atau ngobrol, tapi juga saat dia sedih, diam-diam aku tahu kalau dia cemburu waktu Rhun pacaran sama Gami.
Itu terlihat jelas di wajahnya.
Aku sadar aku suka Bri waktu dia umur 17 tahun. Awalnya aku kira ini cuma perasaan iseng. Tapi malam-malam panjang dengan stalking Instagram-nya, nyimak WA Story-nya, atau sekadar nyari alasan buat ngajak dia ngobrol bikin aku sadar: ini bukan perasaan biasa.

KAMU SEDANG MEMBACA
nothing sweeter (selesai)
ChickLitBriana selalu percaya bahwa cintanya pada Rhun-sahabat kakaknya-bukan sekadar cinta monyet. Sejak remaja, ia yakin pria itu adalah takdirnya. Bertahun-tahun kemudian, takdir kembali mempertemukan mereka di perusahaan yang sama. Kini, Bri punya kesem...