**selamat membaca guys!
//
Aku tahu keadaan tidak akan pernah sama lagi sejak aku melihat Mas Gala dan Gami berciuman—atau mungkin sejak aku dan Rhun mulai pacaran. Semua yang dulu terasa membahagiakan kini berubah menjadi ruang penuh ketegangan yang tak terucapkan.
Masa-masa muda kami yang riang sepertinya sudah lama berlalu.
Mas Gala duduk di sampingku di sofa ruang tamu, berusaha memaksakan ekspresi santai. Namun, aku bisa melihat kegelisahannya dari caranya menggenggam lututnya sendiri, seolah mencari pegangan. Aku pun belum siap bicara dengannya.
"Nah, gitu dong, Mas, turun ke bawah. Ibu udah bawain bakpia dari Jogja lho, kesukaan kamu," ujar Ibu sambil menata toples di atas meja dengan hati-hati.
Aku menatap toples itu kosong. Bakpia kesukaan Mas Gala. Aku teringat masa kecil, saat aku dan Mas Gala berebut bakpia sampai Ayah harus memisahkan kami. Saat itu, segalanya terasa sederhana—tidak ada rahasia, tidak ada luka seperti sekarang.
Ayah dan Ibu duduk di sofa berhadapan, sementara aku dan Mas Gala bersampingan. Namun, rasanya seperti kami berada di dua dunia yang berbeda.
"Mumpung Ayah dan Ibu di rumah, kita jalan-jalan yuk!" suara Ibu memecah keheningan.
"Gala sibuk, Buk," jawab Mas Gala cepat. Ia pasti ingin menghindari suasana yang lebih canggung.
"Sibuk? Bukannya alat yang kemarin dipesan dari China sudah sampai?" Ayah menatapnya dengan tatapan menyelidik. "Ini alasan kamu aja, ya? Mau ketemu pacar, kan?"
Kalimat itu membuat bulu kudukku merinding. Nama Gami langsung memenuhi pikiranku, seperti angin dingin yang menyelusup tanpa izin.
"A-apaan sih, Yah. Gak kok," Mas Gala tergagap. Aku tahu Ayah dan Ibu tidak tahu siapa perempuan yang dipacari anak laki-lakinya itu. "Aku mau ketemu klien. Itu lho, pabrik Buah Sehat. Mereka mau bikin packaging di kita."
"Memang meeting harus weekend begini?" Ibu bertanya dengan nada setengah jengkel.
Mas Gala menundukkan kepala, terlihat serba salah. Aku tahu dia sedang mencari alasan yang tepat.
"Ya sudah deh, minggu depan aja kalau gitu," ucap Ibu, menyerah. "Eh iya, ini kok tumben Bri gak diapelin sama Rhun?"
"Mas Rhun sibuk, Buk," jawabku dengan ekspresi datar, meski dadaku terasa sesak. "Lagi ngerjain proyeknya Tatanami buat smart house."
Mas Gala menoleh cepat ke arahku, sorot matanya penuh keterkejutan. Aku hanya menatap balik tanpa emosi, meski dalam hati terasa sakit. Aku ingin dia tahu—aku tahu semuanya. Tapi kata-kata itu terhenti di tenggorokanku.
Percakapan kami berakhir begitu saja. Aku kembali masuk ke kamar, begitu pun Mas Gala dengan alasan siap-siap pergi. Namun, sampai Ayah dan Ibu pergi untuk nonton bioskop, mobilnya tak pernah beranjak dari halaman.
Saat aku hendak ke rumah Tamara, aku melihat Mas Gala masih duduk di ruang tengah.
Rasanya canggung—lebih canggung dari terakhir kali kami bicara. Aku ingin menghindarinya, tapi sebelum sempat melangkah lebih jauh, suaranya menghentikan langkahku.

KAMU SEDANG MEMBACA
nothing sweeter (selesai)
ChickLitBriana selalu percaya bahwa cintanya pada Rhun-sahabat kakaknya-bukan sekadar cinta monyet. Sejak remaja, ia yakin pria itu adalah takdirnya. Bertahun-tahun kemudian, takdir kembali mempertemukan mereka di perusahaan yang sama. Kini, Bri punya kesem...