40. hal yang membuatku tak sedih lagi

721 77 15
                                    

Cahaya matahari masuk dari celah jendela, membuat aku terbangun dari tidur. Aku menegakan tubuh dari kursi samping kasur, lalu merenggangkan otot-otot yang kaku. Mataku masih menyipit dan berusaha menyadarkan diri. Ah, ternyata aku masih ada di kamar Kafka.

"Pagi, Bri."

Refleks aku langsung menoleh ka arah suara. Kafka duduk di kasur, ia tersenyum ke arahku. Lalu, pandanganku beralih pada tangan kami yang masih bersentuhan. Jangan bilang kalau aku menggenggam tangannya semalaman?!

"Maaf." Aku melepas genggaman tangan itu dan langsung salah tingkah sendiri.

Berbeda denganku, Kafka lebih kelihatan tenang. Meski aku tahu bahwa mentalnya sedang tidak baik-baik saja.

"Maafin aku ya, karena lagi-lagi kamu harus ngeliat sisi aku yang kayak gini. Sisi lemah yang gak berdaya," ucapnya lembut.

Aku menggeleng pelan. "Mas ngomong apa sih? Namanya orang kan gak selamanya sehat dan senang terus. Wajar lemah ketika sakit, wajar butuh waktu ketika sedang bersedih."

Kafka tersenyum simpul, mencondongkan tubuhnya, lalu tangannya mengelus kepalaku lembut. "Kamu benar," balasnya lirih. "Tapi, Bri, aku gak tahu bagaimana hidupku ke depannya setelah ini..."

Aku masih menatap matanya yang sayu penuh kesedihan. Suaranya sesekali bergetar, aku tahu bahwa ia berusaha tegar di depanku.

"Kamu pernah tanya kan waktu itu tentang apakah sedih digosipin sama orang lain?" tanya Kafka, lalu aku mengangguk sebagai jawaban. "Waktu itu aku bohong sama kamu, Bri. Sejujurnya, aku sangat sedih. Sedih sama tuduhan dan tuntutan mereka. Aku juga masih manusia biasa yang punya perasaan. Aktingku dibilang jelek, aku gak ekspresif, aku cuma menang tampang, aku terlalu gendut, dan aku ga boleh deket sama siapa pun."

Kafka menundukkan wajahnya, sebelum akhirnya membuka suara lagi. "Aku selalu punya ekspektasi dalam diriku sendiri untuk terus semakin lebih baik. Dari segi aktingku yang terus improve, atau bahkan dari segi penampilanku—aku tidak ingin mengecewakan mereka. Mungkin itu satu-satunya cara agar mereka tidak membicarakan hal buruk tentangku lagi."

"Tapi terlalu keras sama diri sendiri juga gak baik, Mas. Mas Kafka sendiri yang bilang ke aku kalau kita gak bisa nuntut untuk semua orang suka dan baik sama kita. Mas yang yakinin aku waktu orang-orang kantor gosipin aku supaya aku membuktikan bahwa omongan mereka salah."

Aku bicara dengan nada menggebu-gebu, seolah ingin menyadarkan Kafka bahwa ia telah menyelamatkan diriku waktu itu. Dan berharap agar Kafka juga bisa selamat dalam ekspektasi dan ketakutannya sendiri karena pandangan orang lain.

"Dari semua ketakutan yang aku alami... aku paling takut kalau mereka tahu kamu, Bri. Perempuan yang paling aku sayangi." Kafka memandang lurus ke arah laptop yang berada di ujung ruangan, jemarinya meremas ujung selimut dengan gelisah. "Ternyata hari itu datang juga. Hari di mana paparazi rekam pertengkaranku dengan Rhun. Aku takut mereka bawa-bawa kamu dalam hal ini dan cari tahu lebih dalam tentang kamu."

Aku bergeming. Apakah ia sedang mengabaikan dirinya sendiri dan lebih khawatir tentangku? Jika iya, aku tidak tahu mengapa Kafka begitu.

"Apa kamu tahu, kenapa aku susah tidur belakangan ini?"

"Karena Mas selalu baca komentar jahat di sosial media. Aku tahu setelah melihat laptop itu."

Kafka mengangguk pelan, bahunya sedikit merosot seperti sedang menahan beban berat. "Ya, mereka bilang aku egois dan arogan. Dari sini mana pun, aku memang yang salah, kan?"

"Kenapa Mas bilang gitu?"

Kafka menarik napas panjang, tangannya menyentuh tengkuknya seolah mencoba menghalau rasa bersalah yang semakin menumpuk. Matanya mulai basah ketika dia menatapku. "Karena aku cinta sama tunangan orang lain." Suaranya bergetar, nyaris tenggelam dalam keheningan. "Wajar Rhun marah karena perasaan itu salah, itu bukan sesuatu yang benar."

nothing sweeter (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang