32. kompleksitas hubungan antara kita

459 61 20
                                    

//selamat membaca, guys!!

**

Sudah dua hari aku tidak enak badan. Namun, karena ada meeting lanjutan yang dipimpin Bu Rini—manager departemen—akhirnya aku memaksakan diri untuk hadir.

Namun, setelah jam makan siang berlalu, kepalaku malah makin pusing. Aku tidak bisa lebih fokus bekerja. Mbak Dena yang tahu menyuruhku istirahat di ruangan. Kabar itu terdengar oleh Rhun, dan ia memintaku untuk istirahat di rumah saja.

"Nanggung tahu, Empat jam lagi pulang kok."

"Jangan dipaksain, Sayang. Kesehatan paling utama lho." Pada akhirnya, aku pun manut, dan Rhun juga izin pulang lebih awal.

Sebelum pulang ke rumah, ia membawaku ke rumah sakit untuk periksa ke dokter. Kata dokter, aku cuma kecapean dan perlu istirahat.

Ketika mobil Rhun berada di depan rumah, pandangan kami beradu. Sebab ada mobil Mas Gala di parkiran sana.

"Lho, bukannya Gala ikut entrepreneur expo ya di Jogja? Gak jadi?" tanyanya padaku.

Aku menggeleng pelan. "Jadi kok. Semalem juga dia gak pulang ke rumah. Aku kira udah dalam perjalanan ke sana."

Tanpa pikir panjang, kami pun turun. Rumah terasa sunyi. Tidak ada siapa pun di dalam. Pak Herman pasti sedang mengantar Mbok Dar ke supermarket untuk membeli kebutuhan rumah tangga.

Aku menekan gagang pintu, dan pintu itu terbuka dengan mudah. "Gak dikunci," gumamku sembari melirik Rhun, mataku sedikit melebar.

Rhun sempat terdiam—entah sedang memikirkan apa. Kemudian dengan berani, ia mendorong pintu itu lebih lebar, memasuki rumah dengan langkah pasti.

Suasana rumah yang sepi terasa berbeda—seperti ada yang tidak beres. Langkah kaki kami bergema di lantai, dan hawa dingin menyelimuti udara. Aku menelan ludah, mencuri pandang ke Rhun yang juga terlihat menahan sesuatu, entah itu rasa curiga atau kegelisahan.

Namun, apa yang kami temui di ruang tengah sungguh di luar dugaan. Mas Gala, kakakku, kepergok berciuman dengan seorang perempuan. Perempuan itu Gami. Ya, Gami—mantan kekasih Rhun waktu kuliah.

Mas Gala menoleh panik ke arah kami, matanya membelalak seperti anak kecil yang tertangkap basah. Sementara Gami berdiri kaku, wajahnya memerah, tapi tatapannya tak lepas dari Rhun.

"Lo berdua?" Rhun menunjuk ke arah Mas Gala dan Gami bergantian. Nadanya tegas dan penuh keterkejutan. Aku menoleh ke arahnya, kulihat ia seperti menahan gejolak emosi yang meluap-luap.

"Bro, dengerin gue dulu..." Mas Gala bangkit dari kursi ruang tengah, tetapi Rhun mundur selangkah, ia bahkan melepaskan genggaman tangannya padaku.

"Ternyata kecurigaan Bri benar. Awalnya gue kira lo cuma butuh space dan adaptasi aja. Terus ini... I never fucking imagined I'd have to see the two of you like this!"

"Rhun ...." Suara Gami bergetar, lembut tetapi penuh kepanikan. "Gala benar, kamu perlu dengerin penjelasan—"

"Gue gak butuh penjelasan dari kalian berdua!" Rhun menyela, nada suaranya lebih tinggi, hampir tidak bisa dikendalikan lagi.

"Rhun, ini salah aku. Bukan Gala. Aku yang mulai duluan. Kalau dengan bersujud bisa bikin kamu maafin kita. Aku akan lakukan itu."

Rhun tertawa getir. "Gak perlu!" ucapnya tajam. "Wah, gila ya, gue gak pernah sepercaya ini sama orang selain sahabat-sahabat gue. Tapi lo malah khianatin gue, Gal. Ah, bukan cuma gue, tapi juga Bri!"

Mendengar namaku disebut, aku yang sedari tadi menundukkan wajah—menahan air mata yang mulai mengalir—melirik ke arah Rhun yang masih memandang mereka dengan perasaan yang begitu berat, seperti sedang memendam amarah yang tak terbendung lagi.

Gami terisak, tangisannya pecah, dan suasana hening seketika. Semua orang memandangnya dengan cemas, namun tidak ada yang berani mendekat, takut kalau-kalau keadaan semakin buruk.

Ketika suara mesin mobil masuk ke pekarangan rumah, kami semua tersadar dari lamunan. Itu mobil Pak Herman.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Rhun berbalik dan segera pergi meninggalkan kami semua. Begitu saja, tanpa kata, tanpa mencoba melihat ke arahku, tanpa peduli pada perasaanku yang terluka dan bingung. Rasanya seperti diriku tak lebih dari bayang-bayang yang tak penting lagi baginya.

Gala hendak mengejarnya, tapi Gami menahan langkahnya.

"It doesn't work. Kamu pasti tahu Rhun," ucap Gami, nadanya tenang, tapi ada kesan pasrah.

Mereka bisa berbicara tentang Rhun di depanku seolah aku bukan bagian dari hidupnya. Aku menatap cincin pertunanganku yang terasa berat. Hal pertama yang terlintas di pikiranku adalah mimpi itu. Ternyata kecurigaanku benar. Bahwa Mas Gala menyembunyikan sesuatu, dan mimpi itu—mimpi yang aku kira hanya sekadar mimpi—ternyata firasat untukku.

**

Mas Gala berdiri di ambang pintu kamar, tangan menggenggam kresek putih dari rumah sakit yang berisi obat yang aku buang entah ke mana. Lagi pula, aku sudah tidak perlu obat itu.

Aku yang sedang merebahkan tubuh di kasur sembari menangis, lalu mengubah posisi membelakanginya.

"Bri, Mas masuk, ya!" Aku enggan menjawab karena tahu ia tetap akan melakukannya.

Aku bisa merasakan langkah kakinya. Ia menaruh keresek obat itu, lalu duduk di ujung kasur. "Bri, gue mau minta maaf soal—" Mas Gala mulai berbicara, suaranya rendah dan gugup, seolah bingung harus mulai dari mana. "Soal hubungan gue sama Gami."

Aku tetap diam. Berusaha mengatur emosi yang membuat dadaku seketika sesak.

"Rhun pantes marah sama gue, Bri. Gue yang emang udah khianatin dia. Pertemuan gue sama Gami terjadi di awal perkuliahan di Australia. Kami gak sengaja ketemu di kafe—pas gue lagi jadi kerja part time. Harusnya gue langsung bilang ke Rhun, karena gue tahu dia masih ngarep Gami balik."

Suaranya sungguh berat. Aku tahu jika ia juga ingin marah pada dirinya sendiri.

"Tetapi anehnya, pas gue tahu Gami suka gue .... gue malah senang dan mengabaikan perasaan Rhun."

Mendengar penjelasannya, aku refleks bangun dari tidur dan menatap mata Mas Gala dengan mata berkaca-kaca.

"Jadi, Mas Gala penyebab mereka putus?"

Mas Gala menggeleng sembari menghebuskan napas berat. "Lo tahu kalau dulu gue kepilih jadi Presma BEM UI, sementara Gami jadi Sekertaris, kan? Kami sering ketemu waktu itu. Awalnya gue memperlakukan dia dengan baik karena dia cewek dari sahabat gue. Tapi Gami nilai salah perhatian yang gue kasih. It happened just like that!"

Jadi sejak dulu, Gami udah suka sama Mas Gala. Apakah itu benar-benar alasannya perempuan itu meminta putus sepihak?

Aku tersenyum miring, tidak habis pikir. "Tapi pada akhirnya, Mas juga suka Gami, kan? Mas udah khianatin Rhun!"

"Ada kalanya gue juga ngerasa gak bahagia jalanin hubungan ini, Bri. Gue juga kesulitan menyembunyikannya. Berkali-kali gue mau jujur, tapi mulut ini rasanya berat banget buat ngomong. Apalagi pas tahu kalau dia jadian sama lo. Adik gue!"

Mas Gala mulai frustrasi, tapi aku bisa merasakan kalau dia benar-benar menyesal.

"Gue tahu, gue salah. Gue minta maaf. Gue tahu ada konsekuensinya. Gue rela lepasin Gami, kalau itu bisa bikin semuanya jadi lebih baik. Gue gak mau bikin hubungan kalian juga jadi imbasnya."

Aku menundukan wajah, menyembunyikan air mata sialan yang tak mau berhenti. Bayangan tentang Rhun—ekspresi marahnya siang tadi—terus terbayang.

"Gue gak tahu, Mas." Hanya itu yang berhasil keluar dari mulutku. Karena sebenarnya aku juga tidak tahu bagaimana hubungan kami ke depannya.

Hal yang paling menyakitkan adalah ketika menyadari Rhun hilang tanpa kabar. Seolah-olah hanya dia-lah yang terluka.

**to be continued**

nothing sweeter (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang