Briana selalu percaya bahwa cintanya pada Rhun-sahabat kakaknya-bukan sekadar cinta monyet. Sejak remaja, ia yakin pria itu adalah takdirnya.
Bertahun-tahun kemudian, takdir kembali mempertemukan mereka di perusahaan yang sama. Kini, Bri punya kesem...
Cahaya redup televisi menyinari ruang tamu, sementara aku duduk bersandar di sofa. Selimut tipis melingkar di bahuku, dan secangkir teh hangat tergeletak di meja. Suasana hening, hanya suara presenter di layar yang memecah keheningan.
Aku tidak pernah terlalu peduli dengan acara penghargaan seperti ini sebelumnya, tapi malam ini berbeda. Nama itu muncul di layar beberapa menit lalu—Kafka Isak—sebagai sutradara debutan yang masuk salah satu nominasi kategori Film Panjang Terbaik di acara Festival Film Indonesia.
Tanganku terangkat, memutar cangkir di meja tanpa benar-benar bermaksud meminumnya. Kamera menyorot wajah Kafka yang duduk di barisan depan. Jas hitamnya pas di tubuh, rambutnya sedikit lebih panjang dari terakhir kali aku melihatnya. Bibirnya melengkung dalam senyum tenang, tapi aku tahu dia pasti berdebar.
"Bri, pinjem mobil dong!" Tiba-tiba saja suara Mas Gala mengganggu konsentrasiku.
"Ye! Gue ngomong baik-baik kok," ucap Mas Gala sewot. "Pinjem ya mobil lo? Gue mau jemput Tamara. Ban mobil gue masih kempes nih."
Takdir manusia memang tidak bisa ditebak, bukan?
Sejak dulu teman-temanku—Tamara, Clara, dan Wina—selalu mengincar Mas Gala. Tetapi Mas Gala cuek-cuek aja. Dia bahkan gak terlalu hapal meski mereka sering berkunjung ke rumah.
Namun siapa sangka, setelah patah hatinya dengan Gami, Mas Gala malah jatuh cinta sama Tamara. Mereka baru jadian enam bulan lalu.
Berita yang sangat mengejutkan.
"Ambil sono! Lagi pula ganjen banget deh, timbang komplek sebelah aja ahelah."
"Yakali cewek gue udah dandan cantik mau jalan kaki. Emang lo pikir gue mau ngedate di warung pecel samping Indomaret?" Mas Gala dengan intonasi menyebalkannya. "Ya udah, thank you, ya!"
"Ya, ya, udah sono lo ganggu gue nonton aja!"
Setelah itu, dua artis muncul dari belakang layar. Mereka membacakan nominasi film panjang terbaik. Di layar, diputar penggalan scene beberapa film yang masuk nominasi. Setiap ada adegan film, tepuk tangan bergemuruh meriah.
"Dan pemenangnya adalah..." Dua artis berhenti sejenak, membuat jantungku ikut tegang.
"Nothing Sweeter, Selamat!!!!"
Sorakan memenuhi aula di layar. Aku tersenyum kecil tanpa sadar, dadaku menghangat melihatnya berdiri, menjabat tangan orang-orang di sekitarnya sebelum melangkah ke panggung.
Kafka menerima piala itu dengan kedua tangan, membungkuk sedikit sebagai tanda hormat. Tatapannya menyapu penonton, dan untuk beberapa detik dia hanya berdiri di sana, seolah mencari kata yang tepat.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.