setahun setelahnya....Pagi-pagiku tak selalu murung dan buruk. Namanya pekerjaan kan memang tidak bisa diprediksi, seperti hari ini. Kejadian yang tidak bisa terhindarkan.
"Mas, kamu pasti marah, kan?" Di sela-sela jeda meeting aku menyempatkan waktu untuk menelepon Kafka. "Padahal aku udah janji. Nasib karyawan baru nih."
"Gak sama sekali kok. Lagipula ini cuma acara preview book aja hehe. Tapi kalau pre-launching Novelku, kamu harus dateng lho! heheh," balasnya dari seberang telepon sana.
"Sumpah ya, aku gak nyangka bakalan ada meeting dadakan. Kalau udah launching kayaknya aku bakalan cuti. Janji deh."
"Hahahah." Tawa Kafka terdengar renyah. "Tadi Gala juga datang ke sini. Ya, anggap aja dia mewakili kamu."
Mas Gala. Hubunganku dengannya berangsur membaik, meski awalnya sempat renggang dan canggung. Apalagi setelah Mas Gala jujur ke ayah dan ibu jika hubungannya dengan Gami yang membuat pertunanganku dengan Rhun batal. Semuanya makin rumit dari perkiraan.
Mendengar berita itu, tak lama Prof Margono mengundang makan malam keluargaku ke rumahnya di Sentul. Pertemuan itu bertujuan untuk menemukan titik terang. Namun sayangnya, Rhun tidak hadir.
Jadi, aku sebagai orang yang mengakhiri hubungan ini harus bertanggung jawab untuk menjelaskan.
Ada sedikit adu pendapat, apalagi melihat Rhun tidak hadir di pertemuan ini. Namun akhirnya, kedua belah pihak keluarga menghargai keputusanku. Keputusan kami—aku dan juga Rhun.
"Tadi dia datang? Sama Kak Gami?"
Setelah acara di Sentul itu—tidak lama setelah aku pindah ke apartemen dekat kantor yang baru—aku dengar dari Mbok Dar kalau Mas Gala juga pindah. Kadang ketemuan di luar sama ayah dan ibu jika keduanya sedang ada di Jakarta."Dia sama Gami sudah berakhir lama, Bri. Aku tahu Gala kayak gimana, sedikit tahu tentang prinsip Gami yang keras. Jadi kalau mereka memutuskan untuk berpisah, gak akan ada jalan untuk kembali lagi. Itu sudah keputusan final."
Aku ikut sedih mendengarnya. Gami memang perempuan berprinsip, terakhir kali kami bertemu, ia benar-benar tidak menampakan batang hidunya, pun berusaha mendapatkan Gala kembali lagi.
Padahal aku sempat berpikir mereka akan kembali bersama saat tahu aku dan Rhun berpisah. Tetapi ini-lah kenyataannya.
Pikiranku melayang pada semua percakapan tadi. Hubungan Gala dan Gami, Gala dan aku, dan tentu saja aku dan Rhun. Semua simpul yang belum sepenuhnya terurai. Tapi suara Kafka kembali menyentakku ke realitas.
"Bri, kok diem?" tanya Kafka nadanya sedikit khawatir di seberang telepon sana. "Kamu gapapa?"
"Eh—iya, maaf," kataku berusaha menutupi kegugupanku. "Kalau gitu, habis pulang ngantor aku mau teraktir Mas Kafka deh. Hmmm, tambahan lagi, aku bakal jemput Mas Kafka juga. Kan aku udah jago bawa mobil sendiri." Kelakarku yang langsung disambut gelak tawa dari Kafka.
"Gausah, nanti aku aja yang jemput ke kantor kamu, ya? Sekalian ada yang mau aku omongin..." sambungnya dengan nada serius yang membuat detak jantungku tidak karuan.
"Eh tumben, ada apa nih?" tanyaku penasaran.
"Ada deh. Sampai ketemu nanti ya, Bri," ujarnya mengakhiri pecakapan kami.
Aku menatap layar ponsel, sembari membayangkan apa yang nanti Kafka katakan.
Apakah sesuatu yang baik? Atau sebaliknya.

KAMU SEDANG MEMBACA
nothing sweeter (selesai)
ChickLitBriana selalu percaya bahwa cintanya pada Rhun-sahabat kakaknya-bukan sekadar cinta monyet. Sejak remaja, ia yakin pria itu adalah takdirnya. Bertahun-tahun kemudian, takdir kembali mempertemukan mereka di perusahaan yang sama. Kini, Bri punya kesem...