008. close friend

835 85 6
                                    

Sejak dulu aku sering menyembunyikan perasaan. Tidak hanya dengan sedih, begitu pun senang. Kadang aku juga tidak bisa mengekspresikan dengan benar-benar di depan orang lain, termasuk Deka. Hubungan kami selalu dibayang-bayangi sosok Rhun.

Cinta pertama yang kisahnya perlahan-lahan tenggelam di makan waktu. Bahkan sebenarnya "hubungan semacam itu" tidak pernah terjadi di antara kami. Yang ada hanya angan-anganku saja.

Namun tetap saja, Deka tidak percaya.

"Kamu chat dia?" Deka bicara dengan wajah kesal. Matanya tajam menatap sosok Rhun yang kebetulan saja sedang makan malam di kafe yang sama dengan kami. Dia—yang dimaksud—tetap duduk tenang menyantap makanan pesanannya "Aku kecewa banget sama kamu tahu, gak!"

Tentu aku langsung mengelak. Belakangan Rhun memang sering melihat status di whatsapp atau bahkan story Instagram—yang sebelumnya jarang ia lakukan. Meskipun mengelak, aku tahu ini ulah kakakku. Tetapi sebatas itu saja.

"Kalau kamu masih curiga terus sama aku ... aku juga bisa marah. Bisa gak sih kamu percaya sedikit aja?"

"Gimana gak curiga. Aku masih ingat betul dulu kamu nangis-nangis curhat sama aku pas denger Rhun punya pacar baru. Cinta kamu ke dia kayaknya lebih besar dibanding aku. Coba ... pernah gak kamu nangisin aku kayak kamu nangisin Rhun?" suaranya rendah, tetapi mampu membuat dadaku bergemuruh marah.

Pacar yang selama ini aku anggap dewasa dan pengertian nyatanya hanya pria pencemburu yang tidak masuk akal.

Awalnya aku senang-senang saja Deka cemburu dan sedikit posesif. Itu artinya dia mencintaiku, bukan? Tetapi makin ke sini, itensitas cemburunya sudah keterlaluan. Tidak hanya dengan Rhun, melaikan semua teman-teman priaku.

"But that was then. Now? That love is long gone." Aku tidak bisa lagi menahan emosiku tidak meledak-ledak. "Apa selama ini aku cerita tentang dia lagi? Enggak kan? I told you. There's nothing special about me and him. Just puppy love thing."

Deka yang sedang memegang alat makannya mendadak melemparnya ke meja, lalu membuang pandangannya ke sembarang arah.

Di sisi lain, orang-orang yang duduk di dekat meja kami menyadari sesuatu. Beberapa melirik dengan sinis, sisanya tidak begitu peduli. Mataku berkaca-kaca, untuk pertama kalinya aku seperti permalukan seperti ini.

"Aku males. Kita selalu berantem karena dia. Aku benci. Aku gak suka!"

"Kamu gak nyadar itu semua ulah kamu? Daritadi yang ngomongin hal ini kan kamu? Ayo-lah please, grow up!"

Setelah itu tanpa menunggu persetujuan Deka, aku langsung bangkit dari kursi dan meninggalkannya. Aku pikir Deka akan menahanku, tetapi ternyata dia masih dia sana. Duduk dengan egonya.

**

"Kalau gak keluar kamar, aku bakal bikin perhitungan sama Deka!"

Rhun mengetuk pintu kamarku tergesa-gesa, sementara aku masih duduk terdiam di samping lemari pakaian. Memeluk kedua kaki sembari menangis.

Rhun melihatku tadi. Sama seperti Deka, ia terlihat abai ketika tubuhku melewatinya. Jarak meja makan yang tidak terlalu jauh, aku yakin seratus persen jika samar-samar Rhun mendengar pertengkaran kami.

"Apa peduli Mas Rhun?"

"Kamu masih tanya? It's already 11 PM, for fuck's sake! I'd rather be here than go home."

"Tapi aku gak nyuruh Mas datang ke sini!" ujarku setengah teriak.

"Oh, God." Aku mendengar Rhun setengah frustrasi. "Oke, Bri. Aku tahu kamu masih nangis di dalam. Aku cuman nanyain satu hal dan berharap kamu bicara jujur."

nothing sweeter (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang