20. bertemu dengan seseorang yang tidak ingin aku temui

588 61 3
                                    

Aku hampir menyelesaikan gigitan makanan penutupku ketika melihat seseorang berjalan mendekat. Aku tahu siapa dia bahkan sebelum ia benar-benar sampai di depan meja kami.

Deka. Sosok yang seharusnya bisa kuabaikan kalau saja dia tidak menyapaku dengan senyuman sinis.

"Akhirnya ketemu juga, Bri," ucapnya, seakan-akan pertemuan ini adalah sebuah kebetulan yang ia tunggu-tunggu. Aku merasa jantungku mulai berdegup kencang, tak nyaman.

Kafka dan Rhun langsung menoleh ke arah Deka, mungkin terkejut dengan kehadiran tiba-tiba mantanku di sini. Sementara itu, aku menunduk, berharap pembicaraan ini segera berakhir.

"Gimana kabarnya?" tanya Deka, tatapannya menusukku, lalu berhenti pada Rhun yang duduk di sampingku. Senyumnya berubah menjadi seringai. "Ternyata bener, ya. Kamu gak pernah serius sama aku sejak dulu."

Kata-katanya langsung membuat dadaku sesak, dan aku bisa merasakan wajahku memanas. "Deka..." bisikku, mencoba menahan rasa malu dan sakit hati yang tiba-tiba muncul.

"Lo masih punya nyali buat nampakin muka lo, nyet?" Kafka yang semula diam, mulai angkat bicara. "Lo gak inget sama apa yang udah perbuat sama Bri?"

Deka berdecak lidah, mengubah posisinya ke arah Kafka. Ia menatap dengan wajah menantang. "Gak ada asap kalau gak ada api," ujarnya dengan seringai. "Gimana perasaan lo kalau pacar lo selama ini gak pernah serius sama hubungan ini? Di hati dan pikirannya selalu ada bayangan cowok lain? Dan lo gak buta buat gak menyadarinya!"

Jantungku nyaris berhenti. Rasanya aku ingin mengentikan waktu detik ini juga.

Deka kemudian makin berani mencondongkan tubuhnya sedikit ke arahku, matanya memancarkan sesuatu yang menyala. "Selama kita pacaran, Bri masih suka sama Rhun. Cinta pertamanya. Padahal harusnya dia cukup tahu diri kalau perasaannya bertepuk sebelah tangan."

Aku bisa melihat wajah Kafka dan Rhun berubah. Kafka memasang ekspresi terkejut, sementara Rhun menatap Deka dengan tatapan yang sulit diartikan. Aku tak tahan lagi. Rasa sakit dan malu bercampur aduk, membuatku merasa ingin kabur dari sini.

Tanpa banyak bicara, aku bangkit berdiri. Air mata mulai menggenang di sudut mataku, dan dengan cepat aku mencoba berbalik, berniat meninggalkan mereka semua di sini.

Namun, sebelum aku berhasil pergi, kurasakan tangan seseorang menggenggam lenganku dengan lembut. Rhun.

"Kata siapa?" suara Rhun pelan tapi penuh ketegasan, menghentikan langkahku. Aku mengangkat kepala, dan di matanya aku menangkap sesuatu yang selama ini tak pernah aku lihat.

"Perasaan Bri gak bertepuk sebelah tangan kok," katanya lagi, dan dalam sekejap, aku lupa pada luka dan rasa maluku. Rhun baru saja mengatakan sesuatu yang bahkan tak berani aku impikan.

**
Setelah kejadian malam itu, aku tak bisa berhenti tersenyum setiap kali mengingat kata-kata Rhun. "Perasaan Bri gak bertepuk sebelah tangan kok."

Kalimat sederhana yang nyatanya berhasil membuatku merasa diterima, diakui, dan... mungkin diberi harapan?

Rasanya terlalu indah untuk dipercaya, tapi tetap saja, sejak malam itu, debar di dadaku semakin sulit diabaikan.

Meski kami jarang bertemu karena proyek Rhun di Bali yang seakan tak ada habisnya, intensitas chat kami justru meningkat. m

Biasanya, aku yang ragu-ragu untuk memulai obrolan. Tapi sejak kata-kata itu terucap, Rhun justru sering mengirim pesan lebih dulu, entah sekadar mengabarkan kalau ia baru selesai rapat atau hanya mengirim foto pemandangan dari tempat kerjanya di Bali.

Hal-hal kecil seperti itu selalu sukses membuatku tersenyum sendiri. Rasanya seperti ada jarak yang perlahan mulai terhapus.

Akhirnya, minggu ini Rhun bilang dia pulang ke Jakarta, dan aku sudah menanti momen ini sejak hari pertama dia berangkat. Aku bersemangat menyiapkan rencana untuk mengajaknya makan malam, membayangkan obrolan kami yang hangat seperti dulu.

Pikiranku sudah melayang ke berbagai topik obrolan yang bisa kubicarakan, sekadar agar malam itu tak cepat berakhir.

Namun, ketika aku sampai di lobi kantornya, senyum di wajahku perlahan menghilang. Rhun sedang berdiri tak jauh dariku, tertawa lepas dengan seorang wanita. Clara.

Tangannya terlipat santai sambil sesekali menepuk bahu Rhun dengan tawa riang. Mereka tampak begitu akrab. Gelak tawa mereka terdengar begitu lepas, dan aku tak bisa menahan diri untuk tak merasa janggal.

Kupandangi mereka dari kejauhan, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang tiba-tiba muncul. Rasanya seperti ada jarak di antara kami yang entah kenapa terasa lebih nyata dibanding sebelumnya.

Aku diam sejenak, berharap Rhun akan menyadari kehadiranku dan menghampiriku lebih dulu, namun... itu tak terjadi.

"Sumpah ya gue kayak orang tolol banget!" ucapku pada diri sendiri dengan nada pelan, tetapi penuh dengan emosi.

Aku menarik napas dalam-dalam dan memutuskan untuk berbalik pergi. Tak peduli bahwa aku sudah menunggu momen ini, menunggu kesempatan untuk akhirnya menghabiskan waktu dengannya lagi. Semuanya tampak sia-sia. Sebelum aku melangkah terlalu jauh, kudengar suara yang memanggilku, "Bri!" Rhun tampak mengejarku, ekspresi terkejut tergurat di wajahnya.

"Kamu kenapa pergi? Aku manggil-manggil kamu lho daritadi?" tanyanya, napasnya sedikit terengah setelah mengejar.

Aku mencoba menahan raut wajahku tetap tenang, tapi perasaan kecewa sudah terlalu besar untuk disembunyikan. "Oh, SORRY. Aku takut ganggu Mas Rhun yang lagi PDKT sama Clara," jawabku, suaraku terdengar datar, meski sebenarnya hatiku mulai kacau.

Dia mengerutkan kening, tampak kebingungan. "Kamu ngomong apa sih?"

Aku hanya bisa menatapnya, merasa bingung pada diriku sendiri. Ada banyak hal yang ingin kutanyakan, tapi aku terlalu takut untuk mendengar jawabannya. Kenapa dia dekat dengan Clara? Apakah malam itu dia benar-benar serius? Atau mungkin semua itu hanya karena dia ingin melindungi harga diriku di depan Deka? Pikiran negatif itu menggangguku sejak lama, tapi baru kali ini aku merasa tidak bisa menahannya lagi.

Merasa tak sanggup menatapnya lebih lama, aku pun berbalik hendak pergi lagi. Namun langkahku terhenti ketika Rhun tertawa kecil di belakangku.

"Ah, i see... " ujarnya tertahan. "Cewek tuh lucu ya kalau lagi cemburu," katanya sambil terkekeh, nada suaranya ringan namun penuh kehangatan.

Aku berhenti sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja ia katakan. Cemburu? Apakah dia tahu aku sedang cemburu? Perlahan aku berbalik, dan kudapati Rhun masih tersenyum menatapku, seakan mengerti segalanya meskipun aku tidak mengatakannya.

"Siapa sih yang cemburu." Aku berlagak bego dan denial.

"Siapa lagi kalau bukan cewek didepanku ini."

Senyum tipis yang ia tunjukkan membuatku semakin tak mampu membalas. Hatiku berdebar, meski aku berusaha mengabaikan perasaan itu. Rhun terus menatapku, dan di balik gurauan ringan itu, ada sesuatu yang hangat di matanya. Entah kenapa, tatapan itu membuatku ingin percaya bahwa ucapannya di malam itu bukan sekadar basa-basi untuk melindungi harga diriku di depan Deka.

Rhun tertawa lagi, kali ini sedikit lebih pelan, seolah memahami kebingunganku. "Kamu mau makan malam, kan? Aku tahu kamu udah nungguin aku." Ia tersenyum lembut, lalu tanpa menunggu jawabanku, ia menggandeng tanganku pelan, membawaku pergi dari tempat ini.

**to be continued**

nothing sweeter (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang