26. Right Through Me

509 49 0
                                    


Sejak dulu aku tahu bahwa Kafka adalah seseorang yang dapat diandalkan. Ia bisa menjadi teman, sahabat, dan kakak. Aku terbiasa bercerita banyak hal padanya. Kecuali tentang Rhun. Karena aku malu jika diam-diam ia menceritakannya.

"Take a time, Bri. Kapan pun kamu siap cerita, aku bersedia dengerin."

Setelah izin pulang lebih awal, Kafka menjemputku. Biasanya ia akan membawaku ke restoran, tetapi kali ini berbeda. Kafka membawaku ke rumahnya. Ini pertama kalinya aku menginjakan kaki ke sini.

Rupanya ia tahu aku butuh space dan waktu sendiri.

"Terima kasih, Mas Kafka baik banget udah nolongin aku."

"Kayak sama siapa aja sih bilang begitu," ujarnya dengan senyum tipis.

Kafka tidak tinggal sendiri. Ada dua orang asisten rumah tangga yang siap membantu menyelesaikan keperluan dan kebutuhan rumah.

"Tadinya yang satu buat ngurusin papa. Cuma pas papa gak ada ... aku gak tega buat pulangin ke agensi," jelas Kafka ketika Mbok pamit pergi ke dapur lagi setelah memberikan aku teh manis hangat. "Kerjanya rajin, jadi aku pertahanin aja. Itung-itung bagi tugas sama Mbak Ir."

Papa Kafka meninggal dunia setahun lalu—setelah hampir delapan tahun mengalami kelumpuhan akibat kecelakaan kerja. Mungkin itu alasan kenapa belakangan ini Kafka sering minta aku temenin makan di luar.

Setelah jeda cukup lama, akhirnya aku buka suara. "Mas pernah gak diomongin gaenak sama orang lain? Misalnya sama rekan kerja?"

Kafka yang sedang merebahkan tubuh di sofa di sampingku langsung menoleh, menatapku dengan alis sedikit terangkat. Sejenak, ia hanya diam sambil menatap mataku, seolah memastikan apa yang ingin kutanyakan. Setelah itu, bibirnya melengkung tipis, memberiku senyuman tenang yang biasanya berhasil membuatku merasa sedikit lebih baik.

"Sering. Udah makanan sehari-hari kali, ya?" Kafka menarik napas dan menatap langit-langit sebentar, seperti mengingat-ingat. "Bahkan aku sering diomongin yang gak-gak sama orang yang gak aku kenal sama sekali." Ia kemudian melirik ke arahku sambil tersenyum samar. "Coba aja kamu search namaku di Twitter."

Aku hanya bisa membayangkan bagaimana rasanya, dan entah kenapa, sedikit perasaan kasihan muncul dalam hati.

"Mas pernah sedih gak?" tanyaku pelan.

Kafka mengangkat bahunya sedikit sebelum menghela napas pelan. "Sedih mah gak ya, tapi awal-awal kaget." Ia menatap ke depan, pandangannya menerawang sesaat sebelum kembali menatapku, matanya terlihat lembut. "Kaget kalau nama aku disebut atau masuk berita di akun-akun gosip." Ia berhenti sejenak, lalu mengangguk seolah meyakinkan dirinya sendiri. "Lama-lama aku berpikir, kalau setiap pekerjaan pasti punya risikonya."

Mendengar penjelasannya membuat hatiku sedikit membaik. Benarkan dunia berjalan seperti itu? Bahkan ada saja segelintir orang yang men-judge tanpa pernah melihat keadaan sesungguhnya.

"Ada masalah apa, Bri? Tentang kolega di kantor, ya?" tebaknya yang langsung tepat sasaran.

Aku menatapnya sekilas, kemudian membuang arah ke sembarang. Kafka membujukku untuk bercerita—tetap lembut tanpa memaksa. Lalu, aku bercerita tentang apa yang aku alami di kantor.

"Kenapa sih mereka kayak gitu sama aku? Kenapa harus pura-pura baik di depan, tetapi di belakang malah ngomongin yang gak-gak."

Kafka mendengarkan dengan sabar tanpa sedikit pun menginterupsi. Ketika air mataku tumpah, tangannya mengulurkan beberapa helai tisu.

"Aku gak seperti yang mereka bilang. Lowongan itu memang dari Mas Rhun, tetapi aku juga usaha bersaing dengan kandidat lainnya. Aku percaya sama kemampuanku. Dan aku gak meragukan sama sekali profesionalisme Mbak Dena sebagai orang yang berkompeten dalam bidang hire orang. Dia gak mungkin menerima aku hanya karena "orang-nya Rhun."

Napasku memburu, mengeluarkan segala emosi yang ada. Kafka memberi jeda sebelum akhirnya bereaksi atas curhatanku.

"Manusia itu bermacam-macam, Bri. Kita gak bisa menilai mereka sama rata karena kenyataannya dunia gak sehitam putih itu. Kita juga gak bisa memaksa agar mereka mengerti dan melihat "sisi lain dari kita" bahwa kita gak seperti yang mereka pikirkan."

"Tetapi tetap aja—"

"Kalau memang kamu bukan seperti apa yang mereka katakan, maka berikan perlawanan," sambungnya lagi.

"Perlawanan?"

"Ya, perlawanan. Lawan mereka dengan bukti bahwa pandangan mereka salah. Caranya dengan membuktikan kemampuan kinerja kamu. Dalam dunia kerja, kita hanya perlu fokus pada diri sendiri. Jadi tetap lakukan tugas dan tanggung jawab dengan baik."

"Lalu mereka? Bagaimana kalau mereka tetap tutup mata?"

"Berarti ada yang salah dari diri mereka. Kalau kamu bekerja dengan benar dan mereka tetap meragukan kamu, bisa jadi tolak ukur mereka bukan lagi kemampuan kerja  kamu, tetapi personal."

"Personal?"

"Terlalu kompleks sih, tapi kalau tolak ukurnya bukan "kerjaan" sih saranku lebih baik kamu anggap  aja omongan mereka angin lalu. Soalnya manusia hidup bener dan lurus-lurus aja, pasti ada aja yang ngomongin. Personal tuh  contohnya misal dia gak suka karena kamu cantik, pintar, terus dapetnya Rhun lagi."

Mendengar penjelasannya membuat perasaanku lebih baik. Aku mulai belajar tentang dunia dewasa—bukan dunia ketika masih menuntut ilmu dan berteman dengan siapa-siapa saja.

Ternyata, pilih-pilih teman juga perlu, ya?

"Makasih, Mas. Aku ga bisa balas apa-apa kecuali doa biar jodoh Mas Kafka kayak aku."

Kafka yang sedang minum air putih sampai tersedak batuk-batuk. "Kayak kamu?"

"Iya, cantik dan pintar, hehehe."

Kemudian kami tertawa pecah. Ruang keluarga di rumah megah yang tadinya sepi berubah menghangat. Hari sudah larut, Mas Kafka mengantarkan aku pulang ke rumah.

Sesampainya di rumah, ia mengantarkan aku sampai depan pintu. Pandangannya beralih ke garasi samping rumah.

"Gala sibuk banget ya belakangan? Jadi urus pabrik cetak ayah yang di tangerang kah?"

Mas Gala memang sudah pulang ke Indonesia empat bulan lalu. Ayah bilang Mas Gala bantu-bantu kerja di sana, tetapi aku pribadi belum mendengar ceritanya langsung dari kakakku itu.

Mas Gala terlalu sibuk, sampai-sampai meski akhir pekan, kami tidak sempat makan bersama. Entah apa yang dilakukannya.

"Iya, kenapa gitu, Mas?"

Kafka menggeleng pelan. "Gak, gak apa-apa kok. Ya udah gih sana masuk, udah malem. Habis ini, tidur yang nyenyak ya, Bri."

Tepat saat itu, ponselku berdering. Notifikasi panggilan video call dari Rhun tertera di layar. Kafka melirik sekilas, lalu tersenyum simpul.

"Kayaknya habis ini harus temu kangen dulu, nih," balasnya yang membuatku tersenyum kikuk. "Oke aku balik dulu."

"Terima kasih, Mas. Hati-hati."


**to be continued**

nothing sweeter (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang