Selalu manis kisah kisah tentang duo kesayangan kita ini.
Kali ini aku akan coba tulis cerita cinta yang sedikit lebih simple dari book book sebelum nya, tapi dengan background kisah yang tetap rumit dan keterikatan perasaan yang kuat antara Yoongi...
Paris. Kota yang sibuk dengan musim semi dan jadwal pertunjukan.
Jemari indah itu menari di atas tuts piano, menciptakan alunan yang pilu—nada-nada khas milik Min Yoongi, pianis muda yang sedang bersinar terang di panggung musik klasik Eropa. Wajahnya dingin namun sarat penghayatan, tenggelam dalam dunia yang hanya dimengerti dirinya sendiri.
Latihan semakin intens. Waktu menuju Recital karya terbarunya tinggal menghitung hari. Di gedung megah Paris Concert Orchestra, para teknisi bekerja keras menyempurnakan pencahayaan dan akustik, menyambut malam besar yang akan datang.
Ketika not terakhir berhenti menggema, Victory—yang lebih akrab dipanggil V—bertepuk tangan sambil melangkah menghampiri.
"Perfect. Seperti biasa. Kali ini pun kau akan menghipnotis seluruh ruangan," puji V sambil menepuk bahu sahabatnya.
Yoongi tak menanggapi. Wajahnya tetap datar, tanpa ekspresi. Ia tahu, V akan tetap memujinya bahkan jika ia bermain buruk. Begitulah V—sahabat dan personal asisten yang paling setia.
“Persiapan sudah 85 persen. Kau hanya perlu menjaga mood dan stamina. Minggu depan, semua mata akan tertuju padamu.”
Yoongi hanya mengangguk pelan.
“Mau makan di resto mana malam ini?” tanya Yoongi pelan, nyaris tanpa intonasi.
V menggeleng sambil menyeringai. “Tidak bisa. Malam ini kau harus makan malam di rumah. Eomma dan appamu sudah mengancam akan memecatku jika aku mengiyakan alasanmu lagi.”
Percakapan mereka mengalir dalam bahasa Prancis yang fasih, bahasa tempat mereka tumbuh, meski sesekali mereka kembali pada bahasa ibu—bahasa Korea—yang menyimpan jejak kenangan dari tanah asal mereka.
Dalam perjalanan pulang, V menyetir sambil memutar musik instrumental karya terbaru Yoongi. Di kursi penumpang, sang pianis hanya duduk diam, larut dalam pikirannya sendiri. Jemarinya bahkan masih bergerak pelan—refleks dari kebiasaan yang sudah melekat sejak kecil.
“Saat pertunjukan nanti, Amy minta tak perlu disiapkan kamar. Dia bilang ingin sekamar denganmu,” kata V, menahan tawa.
Yoongi mendesah pelan. “Ngawur.”
V menahan senyum, nyaris tersedak karena menahan tawa. “Kupikir dia sudah minta izin padamu…”
“Kau tahu aku tak suka diganggu selama konser,” sahut Yoongi ketus.
“Jadi apa yang harus kusampaikan pada pacarmu?”
Yoongi tak menjawab. V juga tahu, tak perlu jawaban untuk pertanyaan seperti itu. Ia sudah sangat mengenal karakter keras kepala sahabatnya itu.
Malam hari, di mansion keluarga Min.
Meja makan dipenuhi aroma makanan hangat, namun sunyi mendominasi ruangan. Yoongi, kedua orang tuanya, dan V makan dalam diam. V yang sudah seperti bagian keluarga, menempati salah satu kamar tetap di mansion itu, karena hampir setiap waktu dihabiskan bersama Yoongi.
Suara akhirnya pecah dari mulut Jung Hoseok, ayah Yoongi.
"Apa Jimin mengirim pesan hari ini?"
Yoongi mengunyah pelan. “Aku belum mengeceknya.”
Hoseok meletakkan sendok dengan lembut namun mantap.
"Walaupun harus mengulang ribuan kali, Appa tidak akan bosan mengingatkanmu. Tolong, beri perhatian pada Jimin."
Yoongi menunduk sedikit, diam.
“Dua tahun lalu dia terus menangis, bertanya-tanya kenapa kakaknya berubah. Appa sudah janji akan terus mengingatkanmu. Dia satu-satunya saudaramu, Yoongi. Setelah papanya meninggal, dan sekarang Jin juga mulai sakit-sakitan… dia butuh seseorang.”
Hening. Lalu lirih dari bibir Yoongi, “Iya.”
Ia bangkit dari kursinya, membungkuk sopan, lalu meninggalkan meja makan.
Di kamarnya, Yoongi menjatuhkan tubuh ke sofa panjang. Bahunya terasa berat setelah seharian duduk di depan piano. Ia menghela napas panjang. Matanya menatap kosong langit-langit kamar. Dalam diamnya, ada sesuatu yang tak diucapkan—terkunci, membatu.
Sementara itu, di Seoul.
Jimin sedang menikmati makan malam bersama ayah angkatnya, Seokjin. Meja sederhana mereka selalu terasa hangat karena cinta, bukan kemewahan.
“Jangan lupa, besok kontrol ke dokter ya, Pi. Aku sudah janjian jam tiga sore. Sepulang latihan aku jemput.”
“Oke,” jawab Jin semangat.
Setelah beberapa detik, Jin membuka percakapan yang sudah menjadi kebiasaan.
“Ada kabar dari Yoongi?”
Jimin terdiam sejenak. Lalu menggeleng. “Terakhir dia membalas emailku dua bulan lalu. Setelah itu, aku kirim hampir tiap hari, nggak pernah dibalas. Tapi… sebulan terakhir ini aku berhenti mengirim.”
Nada suaranya lelah. Putus asa yang tak bisa ditutupi.
Jin mengelus punggung tangannya. “Sabar ya, Nak. Mungkin dia benar-benar sibuk. Kan dia sekarang pianis besar di Paris.”
“Aku juga sibuk, Pi. Aku dancer terkenal juga, tapi aku masih bisa kirim email panjang tiap hari.” Jimin tersenyum pahit. “Kurasa dia bukan tidak sempat… tapi memang tidak mau membalas.”
Saat itu juga, ponsel Jimin yang tergeletak di atas meja bergetar. Notifikasi Gmail muncul di pojok layar.
Matanya membesar. Ia menatap Jin.
“Pi… Ini dari dia.”
“Buka cepat!” Jin ikut tegang.
Jimin menarik napas panjang dan membuka email itu.
"Maaf aku baru sempat cek emailmu. Aku sibuk mempersiapkan Recital pertunjukan instrumen baru minggu depan. Oya, aku sisakan satu invitation card untukmu. Akan lebih baik jika kamu datang. Bye."
Jimin menahan napas. Jemarinya gemetar memegang ponsel.
“Pi… aku boleh datang?”
Jin tersenyum hangat. “Tentu. Kamu sudah hampir 26 tahun sekarang. Papi nggak khawatir lagi melepasmu sendiri. Walaupun di mata papi, kamu tetap Jimin kecil papi yang manja itu.”
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Yuk koleksi novel nya juga
WA. 082110378888
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.