part. 3

840 94 4
                                        

_
_
_

Pelan-pelan, mereka melepaskan pelukan itu.
“Aku sangat merindukanmu,” ucap Jimin, masih dengan air mata yang belum sempat kering. Suaranya lirih, seolah rasa rindu itu beratnya tak bisa diukur.

Yoongi mengangguk kecil. “Aku juga.”
Jawabannya terdengar kaku, seperti baris naskah yang dibaca tanpa latihan. Tapi Jimin tak menyadarinya, terlalu larut dalam kebahagiaan yang lama ia simpan dalam dada.

Usai dari aula latihan, Yoongi dan V mengajak Jimin makan siang di restoran kecil tak jauh dari gedung konser. Suasana hangat dan santai, tapi bagi Yoongi, itu adalah medan yang pelik. Ia mencoba keras bersikap biasa, mencoba menyamai antusiasme Jimin yang begitu menggebu. Seringkali, ia harus mencuri napas dalam sebelum menjawab, dan kadang tersenyum tanpa benar-benar tahu apa yang harus dirasakan.

Sementara itu, Jimin tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Senyumnya terus merekah, dan pandangannya seolah tak ingin lepas dari wajah Yoongi. Sesekali ia tertawa saat mengingat kenangan masa kecil, bahkan tertawa sendiri ketika menyadari betapa bodohnya dirinya dulu karena selalu menangis saat harus berpisah dari Yoongi.

Yoongi berusaha mengimbangi—atau setidaknya berpura-pura. Tapi ketegangan di bahunya tak pernah benar-benar hilang. Syukurnya, V mengambil alih suasana. Ia banyak bertanya—tentang Korea, masa kecil Jimin, bahkan hal-hal remeh seperti makanan favorit atau tempat nongkrong Jimin saat remaja. Pertanyaan yang seharusnya keluar dari mulut Yoongi.

Dan Jimin menjawab semuanya dengan semangat. Matanya selalu berbinar, terlebih ketika mengenang Yoongi yang dulu.

Setelah makan siang, Jimin memilih tinggal menemani Yoongi latihan. Ia duduk di barisan depan aula kosong, seperti penggemar setia yang enggan kehilangan satu nada pun dari permainan Yoongi.

V sempat membujuk, “Ayo jalan-jalan dulu, kau pasti bosan duduk terus.”
Tapi Jimin hanya menggeleng. “Aku ingin di sini. Melihatnya main… itu sudah cukup buatku.”

**

Malam harinya, mereka makan malam di rumah Yoongi. Papa dan mama menyambut Jimin dengan tangan terbuka, nyaris tak pernah berhenti tersenyum. Kehadiran Jimin seperti membawa kembali warna pada rumah yang selama ini terasa dingin.

Tawa renyah Jimin memenuhi ruang makan, menembus dinding-dinding yang terlalu lama hanya diisi percakapan singkat dan hening antar penghuni rumah. Mama Yoongi tak melepaskan pandangannya dari Jimin. Sesekali, tanpa sadar, air matanya menetes—bukan karena sedih, tapi karena rasa rindu yang selama ini terkubur terlalu dalam kini bangkit dalam bentuk sosok Jimin yang begitu hangat.

Jimin masih seperti anak laki-laki kecil yang dulu sering memeluknya dari belakang, yang dulu akan merengek minta dibelikan es krim atau minta tambahan waktu bermain piano bersama Yoongi. Dan melihat Jimin sekarang—dewasa, tampan, penuh semangat—membuat hatinya terasa penuh.

Seorang maid datang menghampiri, bertanya, “Apakah tas Jimin harus dipindahkan ke kamar tamu, Nyonya?”

Sebelum siapa pun menjawab, Jimin menyela dengan cepat, “Aku mau tidur sama Yoongi hyung.”

Mama Yoongi tersenyum, langsung menyahut, “Iya, kamu pasti kangen tidur sama Yoongi, ya? Dulu kamu akan menangis jika papi-mu datang menjemput.”

Jimin tertawa kecil, lalu bergeser mendekat pada Yoongi, menggandeng lengan pria itu dan menyandarkan kepalanya di bahu Yoongi.

“Iya, aku hampir selalu menangis tiap malam, setidaknya selama setahun setelah kalian pergi.”

Yoongi berusaha sekuat tenaga untuk tidak terlihat gelagapan. Sentuhan itu—kedekatan itu—begitu asing namun harus diterima. Ia menarik napas panjang dalam diam, mencoba tak terlihat tegang.

WARNA LAIN [YOONMIN] || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang