part. 39

661 86 9
                                        

Ketika pintu kamar terbuka perlahan, Jimin mendongak. Di sana, berdiri sosok yang terlalu dikenalnya—Suga. Untuk beberapa detik yang terasa sangat panjang, pandangan mereka bersitatap tanpa kata. Lalu, Jimin memalingkan wajahnya ke arah jendela, menyembunyikan kilatan emosi yang mulai mengapung di matanya.

Ia tahu, Suga datang untuk berpamitan. Dan memang sudah seharusnya begitu. Jimin tidak ingin menjadi beban yang terus-menerus menyadari hidup seseorang yang begitu ia sayangi.

Langkah Suga berat. Sekadar melihat wajah Jimin saja sudah cukup membuatnya sesak. Ia takut, sungguh takut, akan reaksi yang akan diterimanya. Namun ia tetap melangkah perlahan, hingga akhirnya duduk di kursi di sisi tempat tidur Jimin. Setiap geraknya diselimuti doa, berharap Jimin tidak akan menolaknya mentah-mentah.

Jimin yang bersandar pada sandaran tempat tidur mencoba menenangkan dirinya. Ia mengatur napas, menekan gejolak emosi yang berusaha menyeruak, agar tak membuat Suga cemas.

Untuk beberapa saat, hanya keheningan yang mengisi ruang itu. Sunyi yang menyesakkan. Seolah keduanya tengah menggali keberanian untuk sekedar mengucap sepatah kata.

"Aku... akan kembali ke Paris," ujar Suga akhirnya. Kalimat itu meluncur lirih, jauh dari 

semua kata yang telah ia siapkan sebelumnya.

Jimin menatap Suga dengan ekspresi datar, terlalu datar hingga Suga tak sanggup menebaknya. Apakah itu tatapan sedih? Marah? Kecewa? Atau mungkin semuanya bersatu menjadi satu.

Tak lama kemudian, Jimin mengangguk pelan. Lalu, seperti sebelumnya, ia kembali memalingkan wajah ke jendela, menjauh dari hadapan Suga.

"Aku... aku nggak akan kembali kesana kalau kamu memintaku untuk tinggal," ujar Suga, terbata. Suaranya penuh harap, seakan menggantungkan hidupnya pada satu kata dari bibir Jimin.

Jimin kembali memutar tubuhnya, menatap Suga dalam-dalam. Matanya tak berkata apa-apa, tapi tak juga membiarkan kata keluar dari bibirnya. Tatapannya diam-diam menghancurkan pertahanan Suga.

Kenapa hyung selalu memperlakukanku seperti ini?” batin Jimin getir. “Menganggapku kecil, lemah, sakit-sakitan, dan butuh dikasihani…

Sejak kita hanya tinggal berdua, aku hanya ingin kita selalu bersama—saling menguatkan, saling menjaga. Tapi kenapa kamu malah menahannya sendiri, diam-diam mengorbankan segalanya hanya untukku?

Matanya nyaris tak berkedip. Tatapan dingin dan tajam itu mulai berkaca-kaca. Air mata menggantung di sana, nyaris jatuh.

Suga mulai panik. Ia gelagapan, tak tahu harus berkata apa. "Mmm... maaf. Aku nggak bermaksud bikin kamu nangis. Iya... aku akan balik ke Paris. Aku... aku nggak akan ganggu kamu lagi."

Ia berdiri, bersiap meninggalkan ruangan, takut kalau kehadirannya justru memperburuk kondisi Jimin.

"Menangis nggak akan membuatku segera mati. Berhentilah melihatku seolah aku orang paling lemah di dunia ini."

Kalimat Jimin menghentikan langkahnya. Suga menelan ludah. Kata-kata V terngiang di telinganya—bahwa Jimin akan terus merasa tersiksa jika terus dikasihani.

"Aku tahu kamu nggak akan mati," jawab Suga pelan, "tapi aku... aku merasa seperti akan mati saat melihat kamu menangis."

"Iya. Sebaiknya kamu aja yang mati." Balasan Jimin membuat Suga tercekat.

WARNA LAIN [YOONMIN] || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang