Absquatulate 11

9.9K 464 3
                                    

Suara lonceng terdengar saat pintu terbuka dan tertutup kembali dengan otomatis.

“Hey, di mana Elyn?” tanya Daffa.

Mina yang sedang sibuk menghitung penghasilan siang itu menoleh. “Bu Elyn tidak datang hari ini,” ujar gadis berumur delapan belas tahun itu.

“Kenapa? Kemana dia?”

“Bu Elyn tidak bekerja. Mau membeli sesuatu, kak? Ada roti baru,” jawab Mina. Dia memang memanggil pria itu dengan panggilan kak, sementara Evelyn dengan panggilan Bu. Mina begitu menghormati Evelyn yang selalu membantunya.

“Aku akan menemuinya saja,” ucap Daffa menolak. Dia pun langsung pergi dari sana.

Sejurus kemudian, Daffa tiba di depan rumah Evelyn. “Buka, pak. Aku ingin menemui Elyn,” ujarnya pada Edi.

Pria itu mengangguk. Lalu dia membuka pintu tersebut, setelahnya Edi langsung menutup rapat pintu pagar itu. Daffa dibuat bingung olehnya.

“Kenapa?” tanya Daffa.

“Sebenarnya nyonya Evelyn tidak ingin menerima tamu hari ini. Tapi saya rasa tidak masalah jika bapak yang datang,” jawab Edi.

“Aku tidak mengerti, tapi terimakasih,” ujar Daffa.

Dia pun berjalan dari gerbang menuju rumah bernuansa putih dan hijau itu, benar-benar kediaman yang nyaman dan bersih.

“Hay om, ada apa?” sapa Noe yang sedang bermain puzzle di ruang tamu.

Daffa tersenyum. Dia menghampiri anak itu dan mengelus kepalanya. Dari ruang itu, dia bisa melihat Evelyn yang sibuk di dapur. Pembatasnya hanya tembok setinggi limapuluh sentimeter yang ditata sedemikian rupa. Di sana terdapat meja panjang yang disusun dengan berbagai hiasan dan stoples berisi makanan.

Mata Daffa menyelidik wanita itu. Evelyn mengenakan kaos putih tipis dengan celana pendek yang ditutupi celemek abu-abunya. Rambutnya yang panjang digulung asal-asalan, membuat beberapa helai menempel di leher dan keningnya karena keringat.

Evelyn nampak sedang memindahkan adonan ke cetakan. Mungkin sekedar ingin memasak, atau mencoba resep yang baru.

Cantik. Entah seberapa banyak Daffa memujinya dengan diam-diam dan terang-terangan.

Evelyn memasukkan adonannya ke dalam oven, lalu menyusun wadah-wadah yang dia gunakan sebelumnya. Matanya tidak sengaja melihat Daffa yang duduk di sofa sembari menatapnya. Dia pun melepas celemeknya, mencuci tangannya, lalu menghampiri mereka.

“Hay, ada apa?” tanya Evelyn.

“Ah..., tidak. Hanya ingin menemui mu dan Noe saja,” balas Daffa tersenyum manis. Dia beralih pada Noe dan ikut duduk di karpet. Pria itu membantu Noe merakit istana.

“Kenapa menelpon ku kemarin? Aku baru melihatnya,” tanya Daffa.

Evelyn menggeleng dan tersenyum. Lama mengenal wanita itu, membuat Daffa menatapnya serius. Senyuman itu adalah sebuah paksaan.

“Katakan, Elyn. Ada apa? Kamu juga menolak tamu hari ini,” tanyanya lagi.

“Ahk, tidak. Aku hanya ingin istirahat dengan tenang di rumah hari ini. Dan soal kemarin, aku mungkin salah pencet,” kata Evelyn.

Daffa akhirnya mengangguk meski dia tidak sepenuhnya percaya. Pria itu tidak sengaja menyenggol buku gambar Noe. Halaman yang terbuka menunjukkan sebuah gambar yang membuatnya terdiam.

“Gambaranmu bagus, Noe. Siapa ini?” tanyanya.

Noe langsung tersenyum. Dia menunjuk gambar itu. “Ini mommy, Noe, dan daddy,” ucapnya.

Evelyn menoleh.

“Daddy?” Daffa menatap anak itu.

“Ya, Noe ingin sekali tinggal bersama daddy dan mommy, om. Doakan agar daddy cepat pulang ya...,” ucap anak itu tersenyum manis.

“Daripada menunggu daddy mu yang tidak bertanggung jawab itu, kenapa kamu tidak ingin mencari daddy baru?” tanya Daffa.

Noe berpikir sejenak. Dia sudah punya Alvin sebagai daddy-nya untuk saat ini, dia hanya butuh menunggu Evelyn dan pria itu berbaikan. Dia begitu percaya pada Alvin jika dulunya pria itu adalah kekasih mommy-nya, dari cerita-cerita pria itu, Alvin juga menunjukkan foto-foto kebersamaan mereka.

“Apa yang kamu katakan? Sudahlah, jangan membahas itu," kesal Evelyn.

Daffa tersenyum. “Kenapa? Kamu gagal move on, ya? Atau sedang didekati seseorang?” godanya.

“Daffa, berhenti!”

Daffa tertawa kecil. “Iya... iya!" ucapnya.

--o0o--

Evelyn memasuki tokonya. Dia benar-benar terkejut menatap sosok wanita yang yang berdiri di depannya. Langkah wanita itu pun terhenti, lantaran dia ikut terkejut.

“Evelyn?” Raya menatapnya dengan serius. Wanita itu langsung memeluk Evelyn begitu erat.

“Astaga, dari mana saja kamu selama ini? Kenapa baru kelihatan? Enam tahun loh, Elyn!” ucapnya penuh rindu.

“Bagaimana keadaan mu, sayang? Kamu semakin cantik saat ini. Mama begitu merindukan mu. Jika kamu masih di kota ini kenapa tidak pernah ke rumah lagi?” Dia menyerang Evelyn dengan berbagai pertanyaan sembari memeluknya, sementara wanita yang dia peluk hanya diam dan semakin khawatir.

Raya membawa Evelyn duduk di salah satu kursi lalu kembali memeluknya. “Bagaimana keadaan mu, sayang?” tanyanya.

Evelyn menatap wanita itu dan memaksakan senyumannya. Dia pun mengangguk pelan.

“Kamu tidak rindu sama mama, ya? Padahal ma sangat merindukan menantu kesayangan mama ini, tahu!” Raya kembali memeluk wanita itu.

“Maaf, ma... emm tante atau mungkin bu saja. Aku dan Alvin sudah tidak punya hubungan sejak lama, ku harap tante mengerti,” ucap Evelyn.

Raya menatap Evelyn. Dia tidak mengerti mengapa Evelyn dan putranya mengakhiri hubungan mereka yang selalu harmonis dan baik-baik saja. “Tidak, kamu bisa memanggilku seperti itu walaupun kalian sudah tidak berhubungan lagi. Kamu tetap memanggilku mama apapun yang terjadi!”

Evelyn hanya tersenyum.

“Jadi apa yang kamu lakukan? Bagaimana hari mu selama ini? Mama begitu merindukan mu, Elyn.”

Hancur. Evelyn tersenyum lagi. “Emm ... baik. Toko ini sebenarnya milikku, dan aku sudah mempunyai seorang putra.”

ABSQUATULATE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang