Absquatulate 51

4.2K 162 0
                                    

Pesta pernikahan yang begitu megah. Dengan  hiasan mewah dan elegan membuat setiap orang terkagum-kagum. Pernikahan yang begitu dinanti-nanti terlihat sangat meriah dan bersuka cita.

Saat ini Alvin menatap pengantinnya berjalan menuju altar, diiringi oleh Daffa. Dia tidak ada waktu untuk cemburu, lantaran secara tidak langsung pria itu juga akan menjadi kakak iparnya. Ya, setidaknya dia tidak harus cemburu dengan Daffa karena pria yang Evelyn anggap kakaknya itu adalah pria yang baik.

Senyuman semakin merekah saat Evelyn sudah berdiri di depannya. Alvin tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis terharu. Persetan dengan keangkuhan dan kewibawaannya itu, dia mulai meneteskan air matanya. “Terimakasih sudah mau menerimaku sebagai suami mu, sayang. Aku mencintaimu.” ucapnya penuh haru.

Alvin langsung memeluk Evelyn hendak menciumnya, namun Raya segera menegur, “setelah pemberkatan dulu!” tegur wanita tua itu.

Para tamu hanya bisa tersenyum gemas dan iri. Ada pula yang merasa jijik karena terlalu romantis, ada yang hanya bisa melongo melihat seorang Alvin bisa menangis. Namun adapula yang kesal dan marah pada Alvin yang tidak bertanggung jawab karena pernah meninggalkan Evelyn dan Noe, dan juga para pemuja kedua sejoli itu hanya bisa tersenyum pasrah. Tapi mau bagaimana pun, mereka turut gembira dengan itu.

Pemberkatan pernikahan itu pun selesai dengan lancar dan baik. Para tamu undangan mulai berbondong-bondong untuk mengucapkan selamat kepada pengantin baru itu.

Daffa menatap sepasang suami istri itu dengan perasaan yang sulit untuk digambarkan. Rasanya begitu sakit saat melihat wanita yang dia cintai menikah dengan pria lain.

Wajahnya sendu dan hatinya gusar. Dia sudah pernah membayangkan hari ini, namun rasanya benar-benar jauh lebih sakit. Dia tidak bisa melepaskan Evelyn dari hatinya begitu saja meski dia yang mengantar wanita itu pada pria lain.

Mungkin dia sedang tersenyum manis, namun hatinya kacau. Hal yang sedang dia pikirkan adalah bagaimana dia akan menjalani hidupnya jika wanita yang dia cintai setengah mati sudah berkeluarga? Mungkin dia akan mengakhiri rasa sakitnya dengan mengakhiri hidupnya, tapi dia tidak ingin papa dan mamanya kecewa. Apalagi jika Evelyn tahu, wanita itu tidak akan memaafkannya.

“Hei, bersantai lah sedikit. Sepulang dari sini aku akan mengajakmu ke club terkenal. Kamu akan terhibur di sana.” kata Steve.

Daffa menoleh dan tersenyum getir. “Tidak, terimakasih. Lebih baik aku menjaga diriku untuk istriku kelak.”

Steve tertawa dan menepuk-nepuk bahu pria itu. “Aku punya adik, tapi baru lulus SMA. Dia sedikit nakal dan keras kepala, cukup cocok untuk pria baik-baik dan sabar seperti mu. Kamu tertarik?”

Daffa menghela nafas. Mungkin sudah waktunya bagi dia membuka hati untuk wanita lain. Dia pun mengangguk setuju, namun setelah beberapa saat dia melotot. “Baru lulus sekolah? Kita seumuran dan kamu menjodohkan ku dengan adikmu?”

Steve tertawa. “Kenapa tidak? Hanya beda delapan tahun.”

--o0o--

Pagi ini Alvin bangun lebih awal. Setelah dia mandi dia menatap punggung polos istrinya yang masih tertidur dengan pulas. “Seharusnya aku melakukannya dengan lebih pelan.” dia bergumam dan tersenyum manis.

Alvin duduk di ujung kasur dan menatap wanita cantik itu. “Sayang, bangun dan mandilah. Aku akan membuat sarapan.” katanya.

Evelyn mulai bangun. Dia menarik selimutnya untuk menutupi tubuhnya. “Memangnya kamu bisa memasak apa?” ujarnya.

“Mandilah terlebih dahulu.” Alvin mencium kening istrinya dan langsung bergegas ke dapur.

Pernikahan mereka  baru satu minggu, dan Alvin masih ingin berduaan dengan istrinya. Dia memberi cuti kepada para pelayan, dan masih belum menjemput Noe dari rumah orangtuanya.

Kini pria itu mulai sibuk mencari-cari sesuatu yang bisa dia masak dengan mudah. Sesekali Alvin bersiul, menggambarkan betapa bahagianya dia.

Selang beberapa saat, Evelyn pun datang menghampiri suaminya. “Mie instan?” Dia menghela nafasnya.

“Ya, kamu tidak mau? Hanya ini yang bisa ku masak, sayang.” Alvin tersenyum tipis.

“Tidak masalah, aku saja yang berharap terlalu tinggi.” Evelyn terkekeh kecil dan duduk di kursi sembari Alvin siap dengan urusannya.

Mereka pun mulai sarapan.

“Sayang, aku mau disuap.” kata Alvin.

“Alvin, kamu sudah berjanji untuk tidak bersikap manja lagi.” Evelyn segera menggeleng.

“Tapi aku berjanji jika Noe sudah punya adik.” Alvin memanyunkan bibirnya dan langsung memeluk Evelyn dengan erat.

Evelyn tersenyum gemas, lagipula dia suka sekali jika Alvin bersikap manis. Tapi ada kalanya dia jengah karena Alvin tidak melihat situasi. Suami istri itu pun melanjutkan sarapannya dengan romantis.

Setelah sarapan, mereka duduk bersama di ruang santai untuk menghabiskan waktu bersama.

“Aku sedikit tidak terima jika Noe harus diantar sore nanti. Aku masih mau berduaan dengan mu.” ucap Alvin terdengar dramatis.

Evelyn menatap suaminya. “Alvin, Noe itu anak mu, loh!” kata Evelyn seraya menggeleng.

“Memang, tapi cinta mu akan terbagi. Aku... kamu tahu aku pria yang egois.” kata Alvin sedikit kurang percaya diri. Meski dia menyayangi Noe, membayangkan anak itu sudah menjadi fokus utama Evelyn selama bertahun-tahun membuatnya iri. Dia menyadari jika dirinya memang memiliki sedikit kelainan dalam emosinya.

“Alvin, aku mencintaimu. Cintaku padamu dan Noe itu sama besarnya. Jadi jangan cemberut seperti remaja puber yang ditolak cintanya. Satu saja kamu sudah cemburu, apalagi dua belas?” Evelyn menatap pria itu dengan senyuman tulus.

Merasa tenang dengan ucapan istrinya, Alvin pun langsung memeluk tubuh wanita itu begitu eratnya. “Terimakasih, Lyn. Aku mencintaimu.”

Sore pun tiba.

Kediaman Alvin sudah kembali ramai. Noe datang bersama Raya dan Alex, para pelayan juga kembali bekerja.

Saat ini mereka sedang bersantai di ruang tamu. Alex dan Alvin terlibat dalam pembicaraan serius mengenai perusahaan, sementara Raya dan Evelyn menemani Noe menggambar juga bercerita dan mereka tidak terlalu tahu apa yang dibahas kedua pria itu.

“Apa tujuan mu mencari pria itu?” Alex dengan tiba-tiba mengubah topik pembicaraan mereka.

Alvin mengerutkan keningnya. Saat dia mengerti arah pembicaraan papanya, dia pun langsung memberi isyarat agar tidak membahas itu dengan mencuri pandang pada Evelyn yang masih fokus bersama Noe dan Raya.

Alex segera berdiri menuju taman belakang, Alvin pun mengikuti papanya.

“Mm? Kemana mereka?” gumam Evelyn.

“Palingan membahas pekerjaan. Sudahlah, biarkan saja. Nak Elyn, mama pengen makan kue lapis. Kita masak bersama, yuk?” kata Raya.

Evelyn tersenyum dan mengangguk. Mereka pun beralih ke dapur, membiarkan Noe yang semakin asik dengan buku gambar dan cat warnanya.

ABSQUATULATE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang