Absquatulate 33

5.6K 226 0
                                    

Alvin menatap layar ponselnya di mana Noe sedang menangis. Anak itu berulangkali mengatakan rindu dan memintanya pulang sejak kepergiannya seminggu yang lalu.

Jujur saja dia juga merindukan anak itu, apalagi mommy-nya.

“Sudahlah, sayang. Jangan menangis lagi, daddy akan pulang lusa besok.” kata Alvin mencoba menenangkan anak berpipi chubby itu.

“Kenapa tidak besok saja, dad? Noe rindu! Noe mau daddy!” anak itu belum tenang sama sekali.

Alvin tersenyum dan terkekeh kecil. “Oke, daddy pulang besok. Tapi harus malam karena daddy masih ada pekerjaan.”

“Yey!” Noe berteriak semangat.

“Mm, Noe? Istriku yang paling cantik sedunia di mana?” tanya Alvin kemudian.

“Oh, mommy yang paling cantik sedunia masih kerja. Ini hp-nya jadi ditinggal.” jawab Noe.

Alvin pun mengangguk-angguk.
“Daddy juga mau kerja. Nanti daddy telpon lagi, oke anak daddy yang baik?”
Noe mengangguk sambil tersenyum lebar.

Alvin pun mematikan telepon mereka dan bersandar di kursinya. Dia berpikir sejenak, memikirkan apa yang harus dia bawa untuk Noe.

“Aku ingin membeli banyak mainan untuk Noe, dia pasti akan sangat senang.”

Dia menoleh saat Joe datang.

“Pak, Pak Januar ingin menemui anda.” kata pria itu.

“Katakan padanya aku tidak ingin menemuinya selain di ruang rapat.” ucap Alvin dingin.

Joe pun menerima keputusan pria itudan akhirnya pergi.

Keesokan harinya, Alvin kembali berkutat dengan pekerjaannya. Dia benar-benar tidak sabar untuk pulang sore nanti setelah rapat ini.

“Pak, silahkan.” kata Joe.

Alvin pun berdiri dari kursinya. “Terimakasih atas kerjasama para ibu dan bapak sekalian. Semoga proyek kita berjalan dengan baik. Selamat sore.”

Orang-orang di sana mulai bergegas pulang, kecuali seorang pria bernama Januar itu.

“Pak Wirahardja, saya ingin membicarakan terkait perusahaan cangkang itu.” ucap Januar.

Alvin kembali duduk dan menatapnya datar.

“Saya pikir anda mengenal seseorang dengan nama belakang Prastiwi, dia terlibat dalam penyeludupan dan korupsi besar-besaran saat projek jembatan itu.” kata Januar.

Alvin terdiam sejenak. Projek yang dimaksud adalah projek enam tahun yang lalu. “Prastiwi?”

Januar mengangguk yakin.

“Calon istriku Evelyn Prastiwi. Kamu memberitahukan ini karena aku menolak adik mu itu, kan?”

Januar segera menyanggah. “Tidak. Saya hanya ingin mengatakan informasi ini agar anda tidak mengambil keputusan yang salah.”

“Keputusan terkait apa?”

Januar gelagapan sendiri. Pria di depannya ini benar-benar mengintimidasi.

“Evelyn Prastiwi adalah satu-satunya wanita yang akan ku nikahi. Terkait dia yang bernama akhir Prastiwi itu, merupakan satu-satunya koruptor yang tidak dipenjara karena dikabarkan mati bunuh diri. Apa kamu tidak ingin mengakhiri hidup mu juga karena sering mengambil hak-hak bawahan mu?”

Januar melotot. Dia mulai mengepalkan tangannya.

“Aku sibuk. Masalahmu akan ditindak lanjuti jika, dan aku yang akan mengurus ini.” Alvin bergegas pergi meninggalkan pria itu.

Januar menatap kepergian mereka dan mengepalkan tangannya. “Apa yang harus kulakukan selanjutnya? Ahk, persetan dengan pria arogan itu!”

--o0o--

Alvin pulang dengan selamat.

Alih-alih ke mansion-nya, dia lebih memilih mengunjungi Noe dan Evelyn. Kali ini dia mengemudi menuju toko Evelyn, karena dia pulang lebih cepat dari dugaannya.

Dia pun tiba. Alvin bisa melihat Noe yang sedang bermain di taman depan toko itu. “Daddy pulang,” ucapnya dengan semangat.

Noe yang mulanya sibuk menangkap belalang, menoleh ke sumber suara. “Daddy!” Dia berteriak tak kalah semangat dan berlari menghampiri pria itu.

Alvin langsung memutar tubuh anak itu di udara, lalu menyerangnya dengan ciuman gemas. “Daddy rindu sekali, Noe.”

“Noe juga rindu daddy.” Noe terkekeh geli sambil memeluk erat pria itu.

“Daddy punya banyak mainan untuk mu, nanti daddy berikan setelah kita pulang karena semuanya ada di mobil. Sekarang daddy ingin tahu dimana Evelyn.” ucap Alvin.

Noe mengangguk-angguk dan tersenyum. “Mommy lagi keluar membeli bahan-bahan sama kak Mina. Sebentar lagi akan pulang.” jawab anak itu.

Alvin mengangguk. “Kalau begitu kita tunggu mommy di sini saja.” Dia pun mengajak Noe untuk duduk kembali di taman itu.

Setelah menunggu tiga puluh menit, mobil Evelyn mulai memasuki halaman toko. Wanita itu keluar bersama Mina dengan berbagai kantongan belanja. Seorang pekerja pria membantu mereka mengangkat barang-barang itu.

Evelyn pun tinggal di parkiran karena sedang mengangkat telepon.

“Tuh mommy, dad. Ayo kita samperin.” Noe mengajak Alvin ke sana.

Baru saja melangkah, mereka melihat seorang pria menghampiri Evelyn. Mereka terlihat langsung mengobrol dengan asik.

Pria dengan kacamata tipisnya dan lesung pipi itu memegang bahu Evelyn dan tertawa karena obrolan mereka. Mereka terlihat dekat dan bersahabat.

Noe menoleh pada Alvin yang menghentikan langkahnya. Tangan pria itu mengepal erat dengan rahang yang mengeras. Dia tahu daddynya tidak suka dengan pemandangan itu.

“Evelyn!” Alvin menggendong Noe dan menghampiri mereka.

“Jaga jarak dengan wanita ku!” Alvin menatap tajam pria itu seraya menarik Evelyn dan menggandengnya posesif.

Evelyn sempat terperanjat kaget dibuatnya, apalagi tangan kekar pria itu benar-benar mengencang di pinggangnya. Jika dia melawan, akan ada kekacauan yang terjadi.

Pria itu mengangkat sebelah alisnya menatap Alvin tidak mengerti. Sesaat kemudian dia tersenyum miring dan mengangguk. “Daddy-nya Noe ya, Elyn?”

“Ya! Aku ayahnya anak ini. Kenapa?! Sekarang pergilah sebelum aku menghabisi mu!” Alvin semakin menunjukkan ketidaksukaannya pada pria itu.

Pria itu mengangguk-angguk. “Elyn, aku pergi dulu. Sampai jumpa, sob.” Dia pun pergi.

Evelyn segera melepaskan tangan Alvin dan sedikit menjauh.

“Evelyn! Kenapa kamu harus mendekati pria lain, hah? Apa semua yang kulakukan masih kurang membuatmu puas dan mengerti jika aku benar-benar cinta mati padamu?” Alvin menatap tajam wanita itu.

“Daddy, jangan marahi mommy.” kata Noe pelan.

Alvin menghela nafasnya dan mengelus kepala anak yang masih di pangkuannya itu. “Maaf, sayang. Daddy cemburu.” katanya. Dia pun menurunkan Noe dan langsung memeluk Evelyn dengan eratnya.

“Aku merindukan mu, Lyn. Maaf jika aku membuatmu tidak nyaman karena memarahimu. Aku cemburu!” Dia bergumam lirih. Perasaannya tidak menentu dan semakin kecewa lantaran wanita itu hanya diam dan tidak membalasnya.

“Lyn?” Dia melepaskan pelukannya dan menatap Evelyn yang membuang pandang.

ABSQUATULATE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang