18. Makanan

421 71 29
                                    

Assalamu'alaikum🌷

Sholawat Dulu Yukk
اَللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Note: Warning⚠️
Ambil baiknya dan buang buruknya!

Jangan lupa Votenya ☆
Dan Komennya ☞

ਊ⁠ HAPPY READING ਊ⁠ 

Rabbit membuka pintu rumah tua itu. Bunyi decitan pintu membuat kesan horor, ditambah bercak darah yang berceceran.

Ia mulai berjalan menuju ruangan keberadaan Langit dan istrinya.

Cklek!

Pintu itu terbuka. Suara decitan pintu terdengar jelas di indra pendengaran mereka, Langit yang sedang meringkuk kesakitan atas perutnya yang meminta makan itu terbangun.

"Nih makan, saya lagi tidak mood untuk melukai kalian! tapi tenang, saya akan lukai kalian berdua lagi kok," ujarnya terkekeh dibalik kostum kelinci, ia menyodorkan dua nasi yang terbungkus kertas minyak.

Tanpa berlama-lama Langit langsung mengambilnya namun Rabbit itu langsung menjauhkan plastik berisi nasi tersebut. Jadi, Langit menangkap angin.

"Ada syaratnya," bisiknya pada telinga Langit.

"Ap-apa?"

"Siap aku sayat besok?" Langit mengangguk, ia tak akan menolak karena menolak bagi Rabbit adalah mengiyakan, tapi jika ia  mengiyakan sama saja artinya yaitu mengiyakan.

Aneh bukan? bingung juga kan? sama!

"Oke dial, ini makan sampai kertas minyak juga tuh di makan!" ucapnya lalu ia menghela pergi, menutup pintu tua itu dengan kasar dan menguncikannya.

"Alhamdulillah, lumayan ya Bi?"

"Iya alhamdulilah," ujar Langit.

"Oh ya tadi, Abi sama dia berbisik apa?" Langit langsung meneguk ludahnya.

Ia menghela napasnya. "Tidak berbisik apa-apa kok Umi," alibinya.

"Yang bener Abi?" tanya Hawa lagi, ia memastikan. Langit mengangguk, sebisa mungkin ia menyembunyikan alibinya.

"Tapi kok_" Ucapan Hawa terpotong. "Makan, Hawa istriku," sela Langit. Hawa mengangguk, ia langsung memakan nasi bungkus itu.

~MasTanah~

Rain menghela napasnya, sahabatnya yang menemani dirinya baru saja pergi karena diamanahkan untuk menjaga sang kakek.

Ia terduduk di sofa sembari menatap televisi. Sesekali ia memijit pelipisnya, ia merasa pusing dan tak enak badan.

"Aku mau telepon Mas Tanah aja lah," katanya, ia langsung mengambil handphone di nakas kamarnya.

Ia membuka layar kunci handphonenya dan langsung membuka aplikasi hijau.

Ia langsung menelpon Tanah, tanpa dicari karena memang hanya memiliki 6 kontak. Abi Laut, Umi Habba, Abi Langit, Umi Hawa, Tanah, dan kakak laki-laki- Hujan, satu lagi Matahari Novel Al-Biruni- sahabatnya.

Panggilan itu tersambung.

"Assalamu'alaikum Mas," sapa Rain.

"Wa'alaikumsalam, ada apa sayang?"  tanya Tanah di sebrang sana.

"Pulang ya? Rain pengin jajan, tapi mau ikut beli jajanannya," adunya.

"Ya udah, tunggu ya Mas akan pulang jemput kamu."

TANAH SUCI (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang