22. Disabotase

289 50 3
                                    

Assalamu'alaikum🌷

Sholawat Dulu Yukk
اَللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Note: Warning⚠️
Ambil baiknya dan buang buruknya!

Jangan lupa Votenya ☆
Dan Komennya ☞

"Bertahan hidup dengan cara
mati perlahan, dilukai juga secara perlahan,
baik mental maupun fisik. Mati perlahan adalah cara bertahan hidup."

-Muhammad Langit Shakana 

ਊ⁠ HAPPY READING ਊ⁠ 

Sejauh Ini belum ada pembicaraan, keheningan melanda mereka, saat dua perempuan itu pamit.

Mereka semua menghela napasnya. Dalam batin mereka berdoa agar diberikan petunjuk tentang keberadaan Langit dan Hawa. Namun, saat Laut ingin bersuara tiba-tiba gelap.

"Astaghfirullah." Laut mengusap wajahnya.

"Mati listrik atau gimana ini?"

"Coba kamu cek," ujar Laut pada Tanah. Tanah pun langsung mengecek ke luar.

Matanya menyapu keseluruhan, semuanya gelap. Kamar para santri juga gelap.

"Ada dua kemungkinan. Ya pertama memang mati listrik, yang kedua ada yang menyabotase kabel," ujar Tanah.

Tanpa Tanah ketahui, Hujan ternyata di belakang. Ia berdehem, membuat Tanah menoleh.

"Menurut kamu gimana?" Hujan menatap sekeliling.

"Sepertinya disabotase deh, lihat itu di sana." Hujan menunjukkan ke arah rumah yang di samping pesanteren.

"Itu, nyala."

"Tapi kalau rumah itu pake lampu otomatis jika mati lampu nyala, gimana?"

Hujan berpikir. "Iya juga ya, lebih baik kita tanya saja," usulnya.

"Oh ya udah ayo." Hujan mengangguk, merekapun langsung berjalan menuju ke rumah di samping pesanteren.

Pesantren milik Laut besar jadi memakan waktu banyak jika jalan kaki, tetapi mereka kini memilih jalan kaki, lebih hemat.

Namun, Tanah tiba-tiba memberhentikan langkah kakinya. "Tunggu. Hm kenapa kita tidak cek kabel aja."

"Ha, iya!" Hujan menepuk jidatnya, lalu mereka berbalik arah dan langsung menuju tempat kabel.

Saat di tempat. Tanah melihatnya tak percaya, kabelnya ternyata benar, disabotase.

~oOo~

Bumi sedang mencari pulpen, ia bisanya menulis tidak jelas di buku. Tak hanya itu, ia juga sering bermain dengan pulpen yang ia tancap-tancapkan ke telapak tangan serta punggung tangannya.

Entah itu bahaya atau tidak, Bumi tidak tahu. Syam dan Ainun jarang di rumah, mereka selalu mengurusi pesantren.

Bumi menghela napasnya, matanya memicing. Pulpennya ternyata ada di atas nakas, ia pun langsung mengambil pulpen itu.

TANAH SUCI (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang