36. Dibunuh

247 31 10
                                    

اَللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Sehat-sehat selalu kalian💗
Terimakasih yang sudah mampir💗





HAPPY READING🌹


"Umur itu seperti alur cerita bergenre
thriller susah ditebak, eh taunya
kain kafan sedang ditenun, eh taunya
dia dalang dibalik ini semua."

- Pangeran Tanah Shankara 


Tubuh Rain bergetar hebat, ia menangis sejadi-jadinya begitupula dengan Tanah. Ia menarik keras rambut-rambutnya, hatinya seperti dihantam kenyataan yang begitu cepat terjadi.

"AKHHHHH!" Kaset rusak kembali berputar, PTSD-nya kambuh. Dulu ia melihat orang lain seperti ini diperlakukan yang tidak memanusiakan manusia dan sekarang ia melihat-

Anaknya sendiri. Ya Anaknya yang baru lahir beberapa menit yang lalu kini sudah dilumuri darah dengan tubuh yang terpisah, kepalanya terputus, mukanya hancur dan juga jari-jari mungil yang tergeletak berserakan.

"YA ALLAH ENGGAK, ENGGAK MUNGKIN ITU ANAKKU!" jerit Rain, lunglai kakinya tidak kuat untuk menahan ia terjatuh di depan tubuh anaknya.

Tanah yang melihat istrinya seperti itu langsung menyalahkan diri sendiri, ia harusnya membaca al-qur'an di samping istrinya bukan malah di pojok.

Polisi lalu datang, ia langsung menyuruh orang yang mengerubungi kejadian untuk menjauh dari tempat tersebut.

Habba dan Laut ikut menjauh, ia juga menguatakan terus anak dan menantunya.

"Udah nak, Umi yakin itu bukan Awan cucu Umi," ujar Habba, ia menuntun Rain untuk keluar karena polisi sudah memberi garis polisi.

Deru napas Tanah memburu, ingatan beberapa silam membuat dada Tanah sesak.

"Nak Tanah, ayo kita ke sana biar polisi yang menyelidiki kasus ini. Kamu kambuh ayo segera minum obat," kata Laut.

Tanah hanya diam, menatap anaknya dengan tatapan kosong, jari-jemarinya mencekram kuat roda kursi itu.

Laut menatap anaknya yang berantakan. "Nak, kamu yang sabar ya? Abi yakin itu bukan Awan," ujarnya menepuk pundak Tanah.

"Ayo ke sana," ajak Laut.

"Saya tidak mau, saya mau memastikan bahwa itu bukan anakku," dingin Tanah.

"Nak? nanti ya kita tes DNA jangan seperti ini, ayo ke sana." Laut menunjukkan tempat dengan gerakan mata.

Tanah mengangguk, dengan langkah yang begitu berat ia melangkahkan kakinya mengekori Sang Abi. Setelah tidak ada orang yang ada di tempat itu, polisi langsung menutup garis kuning dan langsung mulai penyelidikan.

Rain semakin histeris melihat jari-jemari anaknya yang diangkat menggunakan pinset oleh polisi.

"Mas dia bukan anak kita kan?" tanya Rain, air matanya terus berjatuhan.

"Semoga saja bukan," jawab Tanah, air matanya lagi-lagi lolos begitu saja meski ia berusaha untuk menahan, bahunya bergetar hebat tak terkendali, matanya merahnya menatap para polisi yang sedang mengevakuasi bayi tersebut.

TANAH SUCI (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang