V

390 23 5
                                    

-Bandung, 2006-

Dua jam sudah Alora berlatih anggar. Besok lusa adalah hari pertandingan besarnya sebagai salah satu atlet anggar kebanggaan SMA Bhakti Bangsa di tahun terakhirnya menjadi siswa SMA. Alora besok akan mengikuti pertandingan anggar pelajar nasional 2006. Kota Bandung kebetulan menjadi tuan rumah dari agenda tersebut.

Setelah mendapat latihan dan arahan untuk keberangkatan besok, Alora dipersilahkan untuk bisa pulang dan memiliki hari tenang besok agar dirinya bisa beristirahat maksimal sebelum hari pertandingan berlangsung.

***

Sesampainya di rumah, ruang makan adalah tujuan pertama gadis itu. Ia benar-benar sangat lapar. Alora sudah tidak lagi membeli makanan dari luar sejak beberapa bulan lalu, lebih tepatnya sejak kejadian dimana Danuar pergi meninggalkannya untuk selamanya. Meskipun yang membaik di sini hanya hubungan Alora dan Bundanya serta Alora dan Ayahnya saja, Alora tetap mensyukuri itu. Ia tidak ingin memaksakan bahwa Bundanya dan Ayahnya juga harus memiliki hubungan yang baik, karena Alora paham untuk hidup satu atap dengan orang yang tidak kita cintai saja sudah berat, apalagi harus pura-pura saling mencintai demi kebahagiaan orang lain, meskipun itu demi anak sendiri.

Sudah beberapa bulan juga Alora menjadi jarang mendengar umpatan dan pertengkaran dari kedua orang tuanya. Semua benar-benar berbeda sekarang. Jika perbedaan tersebut dapat Alora gambarkan akan menjadi seperti ini; pada hari-hari normal Yosua sering mengantarkan Alora ke sekolah dan menjemput gadis itu. Sementara Liana mulai sering berada di rumah, lebih banyak berinteraksi dengan Alora dan lebih perhatian pada urusan rumah. Semua benar-benar berjalan membaik dan Alora harap akan terus berlangsung demikian.

Alora menatap sumringah menu masakan Bundanya hari ini. Belum sempat ia menyantap makanannya, Bundanya terlihat berjalan keluar dari kamar untuk menghampiri Alora.

"Bunda sudah makan?"

"Sudah," jawab Liana sembari mendudukkan diri di kursi samping Alora.

"Gak ke kebun teh?"

"Sudah tadi pagi, Bunda baru pulang."

"Oh. Bunda, besok lusa Bunda bisa gak untuk datang ke pertandingan Alora?" Untuk pertama kalinya pertanyaan semacam itu keluar dari mulut Alora setelah hampir tiga tahun ia bermain anggar dan dua tahun ia menjadi atlet anggar sekolah.

Liana berbinar senang mendengar tawaran putrinya itu. Ini kali pertama Alora menawarkannya, tentu saja Liana tak ingin mengecewakan Alora. Ia sudah benar-benar mencoba berubah demi Alora.

Terima kasih kepada Bara. Ya, karena sejatinya perubahan sikap kedua orang tua Alora juga berkat campur tangan Bara. Beberapa bulan lalu tepatnya ketika Alora pulang dalam keadaan tak sadarkan diri dan mabuk, Bara mengutarakan semua isi hati Alora pada Ayah dan Bundanya. Semua hal yang Alora pendam, semua hal yang tak Alora dapatkan dari Ayah dan Bundanya, dan semua hal yang Alora telah lakukan untuk melampiaskan emosinya ketika dia memiliki masalah.

Bara bahkan sampai berani mengatakan bahwa Ayah dan Bunda Alora adalah bakal calon pembunuh jika mereka terus menerus menyakiti Alora dan tak menganggap keberadaan Alora sebagai anak mereka. Ya, tindakan mereka yang terus menerus membuat Alora sakit secara mental dan psikis tidak menutup kemungkinan untuk membuat Alora yang mudah bertindak nekat itu bunuh diri. Bara berani mengatakan hal demikian karena memang Bara tahu itu. Bara bahkan pernah mencegah Alora ketika gadis itu hendak memotong nadinya sendiri ketika mereka masih duduk di bangku kelas satu sekolah menengah pertama.

Bara juga menjelaskan banyak hal tentang Alora yang pada akhirnya berhasil mengetuk pintu hati dan kesadaran kedua orang tua Alora tanpa gadis itu ketahui. Tentu saja, Bara tidak ingin Alora tahu bahwa terdapat campur tangan Bara di sini, karena yang Bara inginkan hanyalah Alora tahu bahwa orang tuanya sudah berubah dengan ketulusan hati mereka sendiri dan sadar akan perbuatan mereka yang salah selama ini pada Alora.

NEBARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang